F. Ulama Waratsatul Anbiya’
Setiap orang (lebih-lebih yang telah dianggap masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai pengkhianat sunnah rasul. Mereka mendakwakan dirinyalah orang (ulama) yang paling sesuai dengan sunnah rasul. Eronis sekali, kenyataan yang terjadi dalam kehidupam ummat era dewasa ini. Namun, sebagai mukmin, kita tidak boleh berputus asa. Sebab Rasulullah Saw memberitahukan, bahwa Allah Swt senantiasa menurunkan seorang ulama sebagai pengganti dan penerus risalah Islam. Hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda : [61]
وَإِنَّهُ لاَ نبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَائِي
Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudah-Ku, dan yang akan ada para khalifah-Ku
Ulama yang yang ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifatur rasul senantiasa bertaqwa dan benar-benar takut kepada-Nya.
Firman Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
إنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء
Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah para ulama.
Tentang makna ulama yang dimaksud dalam surat Fathir ini, al-Ghauts fi Zamanihi Imam al-Qusthalani Ra (w. 858 H) menjelaskan :
الذِينَ عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ أَخْشَى اللهَ. وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
Orang-orang yang alim tentang kekuasaan dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah lebih takut. Dan karenanya Rasulullah Saw bersabda : Akulah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya. [62]
Malu dan takut merupakan sifat reflek dari manusia. Dan iman yang telah tertanam didalam hati, akan menumbuhkan rasa malu dan takut secara reflek pula. Ulama bukan malaikat. Dia adalah manusia, yang dapat terpeleset dalam kekeliruan. Diantara ukuran keulamaan seseorang terletak pada perasaan malu dan takut kepada Allah Swt ketika terperosok pada kemaksiatan. Seorang ulama yang hakiki, adalah seseorang yang didalam hatinya akan muncul perasaan malu dan takut kepada Allah Swt, ketika terpeleset kepada kemaksiatan. Dan kemudian segera bertaubat dan membenahi diri. Ulama seperti inilah yang disifati oleh Rasulullah Saw sebagai pelita dunia.
HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda :
العُلَمَاءُ سِرَاجُ الدُنْيَا. العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ العَالَمِ
Ulama adalah pelita dunia. Ulama adalah pelita alam.
Hadis ini dapat juga dipahami dengan makna lain. Yakni, ulama yang menjadi penerus risalah Islam, akan diberi karamah oleh Allah Swt sebagai pelita dunia. Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu untuk menjelaskan halal dan haram. Dengan ilmunya ulama ini, ummat tersinari dan kemudian dapat memahami hukum-hukum Allah Swt yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para waliyullah (al-Ghauts Ra) diberi karamah berupa radiasi batin yang bermanfaat untuk mengantar dan membimbing manusia sadar kembali serta makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw.
Pengertian ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (pendiri madzhab fiqih, ulama sufi dan ahli dalam bidang hadis) membaginya kedalam 3 (tiga) bagian : [63]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok; Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka. [64]
Penjelasan Imam Sufyan Tsuary Ra (guru Imam Syafi’i) tentang ukuran waratsatul anbiya’, ditentukan oleh tiga hal. Pertama; dari sifat khasy’yah (benar-benar takut) seseorang kepada Allah Swt. Kedua, dari kemampuan memahami dan mengetrapkan ilmu LILLAH dan BILLAH. Ketiga, dari penguasaan terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah maupun batinyah. Seorang ulama yang memiliki dan menguasai ketiga ilmu diatas, dialah ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
العِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمٌ فِي القَلْبِ فَذَاكَ العِلْمُ الناَفِعُ وَعِلْمٌ عَلَى اللِسَانِ فَذَاكَ حُجَّةُ اللهِ عَلَى ابْنِ أَدَمَ
Ilmu itu ada dua : ilmu yang ada dalam hati dan itulah ilmu yang manfaat, serta ilmu yang ada diatas lisan dan itulah hujjah (bukti kebenaran) untuk anak Adam.
Para ulama waratsatul anbiya tersebut, membawa “Nur Ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah Saw. Mereka diberi kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagai sarana, tempat dan pintu untuk menghormat Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Hadis riwayat Abu Daud Rasulullah saw bersabda :[66]
مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا أَكْرَمَنِي وَمَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمَ الله
Barang siapa menghormat orang yang alim berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan barang siapa menghormat aku berarti ia telah menghormat Allah.
أَكْرِمُواالعُلَمَاءَ فَإِنَّهُم وَرَثَةُالأَنْبِيَاءِ فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقََدْ أَكْرَمَ اللهَ وَرَسُولَهُ
Mulyakanlah para ‘ulama, karena sesungguhnya mereka itu pewaris para nabi. Barang siapa yang memulyakan mereka berarti memulyakan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam al-Qur'an dan hadis telah dijelaskan, bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan dari semua mahluk, dan sekaligus - dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya -, sebagai penjaga kelestarian alam semesta. Dan atas izin dan perintah Allah Swt semata, setelah kepulangan Rasulullah Saw kehadirat Allah Azza wa Jalla, nur ilahiyah tersebut diwariskan kepada para ulama penerus risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada ulama pewaris ilmu lahir, dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin. Sedangkan yang kita bahas dalam makalah ini, hanya berkaitan dengan ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin, yakni para auliyaillah, dan khsusnya al-Ghauts Ra.
Mereka Tanda-tanda ulama pewaris sirri (kemampuan batin) rasul, antara lain :
a. memiliki tugas – dengan doa dan karamahnya - sebagai penjaga kelestarian bumi dan isinya. Allah Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Anbiya’: 106 :
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
Sesungguhnya bumi itu milik Allah, yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya (Qs. al-Anbiya’ : 106).
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur, setelah (tertulis) dalam lauh mahfudz, sesungguh-
nya bumi ini diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih.
Para pembesar ulama kaum sufi dan para auliyaillah, mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan dalam ayat ini, adalah pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah. Mereka dibekali oleh Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam (lahu sirrun yasri fil alam).
Dalam ayat al-Qur’an yang lain, diterangkan Nabi Zakaria As – dengan izin Allah Swt -, mewariskan jabatan kenabian kepada Nabi Yahya As. Allah Swt berfirman, Qs.Maryam : 5 – 6 :
فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَاضِيًّا
(Nabi Zakariya As berdoa) : [68] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku dan dari keluarga Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, orang yang ridlai (kepada-Mu).
b. Mewarisi ilmu Rasulullah Saw. Hadis riwayat Imam Bukhari sabda Rasulullah Saw :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Rasulullah Saw bersabda:
اِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ فَاِذَا نًطَقُوا بِهِ لَمْ يُنْكِرْهُ اِلاَّ اَهْلُ الاِغْتِرَارِ بِاللهِ
Sesungguhnya ada sebagian ilmu yang dirahasiakan, tidak dapat mengetahuinya kecuali oleh ‘Ulama Billah. Maka apabila mereka (ulama Billah) mengungkapkannya, tidak seorang-pun yang membantahnya, kecuali orang-orang yang tidak paham tentang Allah.[69]
لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا العِلْمُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي القَلْبِ
Ilmu itu, bukan karena banyaknya bercerita. Sesungguhnya ilmu adalah “nur” (ilahiyah) yang diletakkan didalam hati.
c. Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami (Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami”. (Qs, Fathir : 32).
Setelah Rasulullah Saw pulang kerahmatullah, kandungan al-Qur’an diwariskan kepada hamba yang dipilih oleh Allah Swt sendiri.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan tentang hamba yang terpilih adalah :
هُمْ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ كِتَابٍ أَنْزَلَهُ
Mereka itu adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah mewariskan kepadanya seluruh kitab yang diturunkan.
Sedankan Imam Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan; [71] bahwa terjadinya pewarisan setelah kematian :
وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ
Pewarisan sebagaimana yang terjadi pada manusia, terjadinya setelah kematian.
Dan Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya menjelaskan makna “kitab” dalam ayat ini :
هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ وَأَحْكَامِهِ وَعَقَائِدِه
Disini, yang dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu, hukum dan aqidah yang terkandung didalamnya. Sedangkan untuk makna hamba-hamba Kami, adalah : [72]
تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ وقَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ دَاوُدَ, وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِيْنُ
Mereka mewariskan kitab suci. Artinya, Perpindahan warisan tersebut dari orang kepada orang lain (secara estafet). Allah berfirman (Qs. an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud dan Sulaiman sebuah ilmu. Dan mereka berdua mengatakan :”segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan Sulaiman mewarisi (ilmu, kerajaan dan kenabian) dari Daud. Sulaiman berkata : Wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini suatu karunia yang nyata.
Dan dalam keterangan selanjutnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan :
فَإِذَا أَجَازَ النُبُوَّةُ لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ
Jika (rahasia) kenabian saja dapat diwariskan, apalagi (kandungan) kitab al-Qur’an.
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan beberapa hadis dan ayat al-Qur’an diatas, antara lain :
1. Sepeninggal Rasulullah Saw, kandungan dan sirri al-Qur’an diwariskan kepada salah satu hamba Allah Swt yang terbaik pada masanya, dan yang dipilih oleh Allah Swt sendiri (bukan pilihan manusia/ rakyat).
2. Penerimaan warisan tersebut secara spontan antara pewaris (al-Ghauts Ra) dan pemberi warisan (Rasulullah Saw).
3. Para pewaris kandungan al-Qur’an tidak perlu susah payah dalam memperolehnya. Atas kehendak Allah Swt, mereka dapat memahami al-Qur’an secara spontan, atau diinstal secara langsung, dalam istilah computer. Meski demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan kemampuannya tersebut.
4. Dan ulama pewaris al-Qur’an dan sirri Rasulullah Saw inilah yang dimaksud dengan ulama waratsatul anbiya’.
5. Karena Rasulullah Saw hanyalah satu orang, maka penerima warisan seperti ini juga hanyalah satu orang. Yang mana setiap beliau Ra al-Marhum, Rasulullah Saw mencari satu ummatnya yang terbaik untuk menerima warisan tersebut.
إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan Allah.
Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w. 1070 H) dalam kitab Siraj al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir, memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut :
هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah (para ulama – pen) sebagai perantara antara kamu semua dan Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris Rasulullah Saw.
F. Awal Pembahasan
Firman Allah Swt QS. Yunus, 62 – 63}
اَلاَ اِنَّ اّوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَقُوْنَ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah).
Dalam kitab Sunan Abu Daud, juz IV, nomer hadis : 4648, dari sahabar Sufyanah, Rasulullah Saw bersabda :
خِلاَفَةُ النُبُوَّةِ ثَلاَثُونَ ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ مَنْ يَشَاءُ أَوْ مَلَكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Khilafah kenabian itu tiga puluh tahun. Kemudian Allah memberikan kerajaan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Atau menguasakan kerajaan itu kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shami, Rasulullah Saw bersabda 18 :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku (Rasulullah) tiga puluh hamba. Sebab mereka bumi (alam seisinya) tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan (oleh Allah), dan sebab mereka manusia ditolong oleh Allah”.
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal didalam kalangan ulama kaum sufi. Al-Qur’an telah mengisyarat keberadaan al-Ghauts Ra. Seperti yang tercermin dalam :
Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 30 :
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الارْضِ خَلِيْفَةً
Dan Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesunggunya Aku menciptakan khalifah diatas bumi.
Al-Ghauts fii Zamanihi Qs wa Ra Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi dalam kitab tafsirnya, juz 1 halaman 20 dijelaskan, bahwa kholifah yang pertama, jika ditinjau dari sisi jasmani diduduki oleh Nabi Adam As, sedangkan bila ditinjau dari sisi rohani kholifah itu pada hakikinya adalah Nabi Mhammad Saw.
اَدَمُ فَهُوَاَبُوالبَشَرِوَاْلَخَلِيْفَةُ الاَوَّلُ بِاعْتِبَارِعاَلَمِ الاجْسَامِ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الارْوَاحِ فَهُوَ مُحَمّدٌ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنّهُ قَا ئِمٌ بِالخِلافَةِ. وحِكْمَةُ جَعْلِهِ خَلِيْفَةُ الرَحْمَةِ بالعِبَاد. اِنَّ العِبَادَ لاَ طَا قَةَ لَهُمْ علَى تَلَقَّىِ االاوَامِرِ مِنَ اللهِ بِلاَ وَاسِطَةٍ.
Banyak buku karya dari para ulama kaum sufi dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya, dan tidak ketinggalan pula para ulama sufi dari Indonesia dan Asia.
Telah banyak para ulama Indonesia yang telah membahas keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra. Namun dalam tulisan ini kami sebutkan beberapa saja, yang antara lain :
1. Syeh Nuruddin ar-Raniri Aceh (w. 1773 M).
Beliau adalah penulis kitab: Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war Rahman.13 yang ditulis menggunakan bahasa melayu kuna dengan hurup arab pegon (hurup jawi).
Sebagai pengamal tarekat Syathariyah, dalam kajian insan kamil, dalam kitabnya Asrar al-Insan, Beliau menerangkan secara luas, bahwa insan kamil adalah hamba Allah Swt yang dalam jiwanya memiliki Nur Muhammad. Dan karenanya, sebagai tempat tajalli Allah Swt yang sempurna dan terakhir. Manusia sempurna sebagai khalifah (wakil) Allah Swt dibumi. Beliau Ra ini memiliki beberapa gelar / pancaran, antara lain : Akal Pertama, Imam Mubin, Qalam al-A’la, Durrah al-Baidla’. Sesuai dengan judul nama kitab (Asrar al-Insan fi Makrifah ar-Ruh war Rahman) Syeh ar-Raniri, membahas nama Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) dalam pasal pertama. dari folio 2b sampai folio 6a.
Dan pada folio 6b sampai folio 10a, Syeh menjelaskan kedekatan hamba kepada Tuhan terdapat maqam Wahidiyah, Ahadiyah dan Hakikah Muhmmadiyah. Sedangkan pembahasan tentang tugas dan kedudukan al-Ghauts, dijelaskan pada folio 10b samapai folio14a.
Diantara penjelasan Syeh ar-Raniri tentang keberadaaan al-Ghauts Ra :
a. Pada folio 1a, Syeh menerangkan :
كَاتَ ستعَهْ دَرِفَدَ مرِكَئِتُ بَهْوَاسَثَ رُوحُ القُدُّوسْ إِيْتُ يَائِتُ رُوحْ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kata setengah dari pada mereka itu (kaum sufi-pen), bahwasanya Ruhul Quddus itu Ruh Muhammad Saw.
b. Pada folio 2b Syeh menerangkan :
خَلْيْفَة إِيْتُ دِنَمَائِي رُوْحُ الاَعْظَمْ. كتَهُوِي أُولِهْمُوهَيْ عَارِفْ بَهْوَسَثَ رُوْحُ الاَعْظَمْ فَدَا حَقِيْقَةْ يَائِيْتُلَهْ رُوْحُ إِنْسَانْ يَعْ مَظْهَرْ ذَاتِ الاِلَهِي دَرِفَدَ فِيْهَقْ رُبُوبِيَتْثَ .بَهْوَسَثَ هِيْدُفْ سكَالَ عَالَمْ برْكرَاقْ دعَنْ دِيَ دَانْلاَكِ سبَبْ كَارنَ إِعْتِبَارْ رُبُوبِيَتْثَ كأَدَأنْثََ تمْفَتْ ترْبِتْ حَيَاتْ يَعْ حَيَةْ
Khalifah itu dinamai Ruhul A’dlam. Ketahui olehmu, hai arif, bahwasanya Ruhul A’dlam pada hakikat, yaitulah “ruh insan”, yang madhhar (menjadi tempat penampakan) Dzat (nur) Ilahi dari pihak rububiyatnya. Bahwasanya, hidup segala alam bergerak dengan Dia. Dan lagi sebab karena i’tibar rububiyat-Nya keadaannya tempat terbit hayat yang hayat.
4. Pada folio 3b Syeh menerangkan :
دَنْ إِمَامْ مُبِيْنْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تَعَالَى (وَكُلُّ شَيْئٍ أَحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْن) دَانْ تِيَفْ2 سكَالَ سسُوَاتُ تلَهْ كَامِ هِيمْفُنكَنْْ اِيَ دَلَمْ كِتَابْ. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي اَكَنْ خَلِيْفَةْ اِيْتُ اِمَامْ مُبِيْنْ. دَرِ كَارنَ بَهْوَاسَثَ سكَالَ عَالَمْ عُلْوِي دَنْ سُفْلِي دِيْهِمْفُنْ دِدَلَمثَ مَكَ بَارَعْيَعْ أَدَ إِيَ أَصَلْ سكَالَ سسُوَاتُ فَتُوتْلَهْ إِيَ أَكَنْ إِمَامْ دَنْ سكَالَ سسُوَاتُ إِتُ مَأْمُومْثَ.
Dan Imam Mubin pun namanya, seperti firman Allah Swt : Dan tiap-tiap segala sesuatu telah Kami himpunkan ia dalam kitab mubin. Maka sebab dinamai akan khalifah itu, Imam Mubin. Dari karena bahwasanya segala alam (ringkasan-pen) ulwi (atas-pen) dan sufli (bawah-pen) dihimpun didalamnya. Maka barang yang ada, ia asal segala sesuatu. Patutlah ia Imam dan segala sesuatu itu makmum.
5. Pada folio 4a, Syeh menerangkan :
دَنْ نُورُ الاَنْوَارْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تعالى (وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرَهُ) بَهْوَسَثَ الله جُوَا يَعْ مثمْفُرْنَاكَنْ نُورْثَ. دَنْ حَدِيثْ نَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أَنَا مِنْ نُور اللهِ وَالعَالَمُ مِنِّي) نُورْكُو دَرِقَدَ
نُورْ الله دنْ عَالَمْ إِيْتُ دَرِقَدَ نُورْكُو. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي أَكَنْ خَلِيْفَة إِتُ نُورُ الانْوَارْ
Dan Nurul Anwar pun namanya, seperti firman Allah Swt : Bahwasanya Allah jua yang menyempurnakan nur-Nya. Dan hadis Nabi Saw : Nurku daripada Nur Allah, dan alam itu daripada Nurku. Maka sebab dinamai khalifah itu, Nurul Anwar.
2. Syeh Abus Shamad al-Falimbani (w. 1785 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Siirus Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Sebagaimana umumnya kitab tasawuf, dalam menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra, buku ini mengulas secara sekilas saja. Kitab ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin” karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam juz III, beliau memaparkan adanya 2 (dua) kedudukan iman, wahidiyah dan ahadiyah.
Ketika mengulas bab “ajaib al-qalbi”, Syeh menjelaskan; pencapaian martabat insan kamil sangat berkaitan dengan keberhasilan sesorang dalam melawanan tujuh nafsu yang ada dalam jiwa; ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radliyah, mardlyah dan kamilah. Dalam melawan hawa nafsu, kekuatan dan persiapan seseorang tidak sama. Bagi orang yang memiliki kemauan keras, Allah Swt akan menolongnya. Namun, dalam perjuangan melawan nafsu, kebanyakan manusia berhenti pada nafsu yang keempat, nafsu mutmainnah. Sedangkan maqam nafsu mauthmainnah ini, sebagai tahapan awal kedekatan seseorang pada Allah Swt. Dan masih ada maqam diatasnya lagi, yakni maqam ahadiyah atau tamkin. Yang mana maqam ini merupakan tahap awal dalam memasuki maqam nafsu mutmainnah. Dan tahapan selanjutnya, seseorang akan memasuki maqam wahidiyah.
Memang - sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam bab “dzammul ghurur” - banyak manusia yang tertipu oleh ke-aku-annya (ego/ diri rendah), hingga merasa sudah sampai ke puncak makrifat. Padahal masih ditengah jalan. Semestinya – demikian Syeh Palimbani -, menjelang tahapan maqam muthmainnah, setiap salik harus meningkatkan kesyauqan, kerinduan dan dapat melihat negatifnya nafsu tingkat tinggi dan kemudian menangis dengan segala kekurangan dan aibnya tersebut. Setelah nafsu muthmainnah –demikian Syeh Palimbani -, masih terdapat nafsu diatasnya, yaitu radliyah, mardliyah dan nafsu kamilah. Dan salik yang mencapai nafsu kamilah, hanya satu orang saja, dialah Insan Kamil lagi Mukammil atau dialah Manusia Khawas lagi Kawash al-Khawash (al-Ghauts Ra). Dalam penjelasan selanjutnya, Syeh Palimbani menerangkan, bahwa Syeh Muhammad Ibn Syeh Abdul Karim As-Samani, mampu mencapai derajat nafsu kamilah/ Manusia Sempurna/ Syeh al-Waliy al-Kamil al-Mukammil/ Quthb az-Zaman Ra.
3. Mohammad Nafis ibn Idris al-Banjari (1735 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Durrun Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
Dan mengulas keberadaan waliyullah, kitab ini mengulas keberadaan al-Ghauts secara sekilas saja. Dan ketika membahas ke-Esaan Allah Swt, beliau memaparkan iman wahidiyah dan ahadiyah.
4. KH. Mishbah Zain Al Mushthafa.
Beliau adalah penulis kitab Tahrir ad Durar Fii Aqwal al Auliya’ al Abrar-nya Bangilan - Tuban- Jawa timur. Buku ini menerangkan keberadaan 9 orang al-Ghauts Ra dengan disertai beberapa fatwa dan amanat dari mereka.
5. Dr. Yunasril Ali.
Beliau adalah penulis buku yang berjudul Manusia Citra Ilahi. Didalam buku ini mengulas tentang perbedaan antara Syeh Ibnu Arabi Ra dan Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra dalam mengulas martabat wahidiyah, ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil (al-Ghauts). Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra – sebagaimana keterangan Yunasril - lebih condong kepada aqidah sunni (al-wujud minal ‘adam/ creasio ex nihilo), sedangkan Ibnu Arabi Ra lebih condong kepada ulasan para ahli filasaf Islam. Sebab ulasan para filusuf muslim – menurut Syeh Ibnu Arabi -, tidak keluar dari kaidah al-Qur’an dan hadis.
6. Prof. Dr. Dawam Raharja (Pakar ekonomi Islam Indonesia).
Dengan karyanya Insan Kamil Dalam Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para pakar muslim dan non muslim yang membahas tentang keberadaan manusia sempurna (al-Ghauts Ra), yang diantaranya membahas pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya manusia yang memiliki jiwa super ego.
7. Drs. Idrus Abdullah al-Kaaf dengan karya Bisikan Bisikan Ilahi.
Buku ini merupakan ulasan terhadap kitab ad-Durrul Mandzum li Dzawil Uquul wal Fuhuum-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra. Dalam buku ini - selain menerangkan derajat Ghauts yang dijabat oleh Imam Ghazali Ra, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dan Syeh Umar al-Ahdali -, Idrus al-Kaf juga menerangkan bahwa Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dapat mencapai derajat al-Ghauts fii Zamanihi Ra yang wafat pada tahun 1132 H.
Sedangkan kitab dan karya para ulama dari luar Indonesia yang telah membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain :
1. Imam Abul Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
2. Syeh Umar Suhrawardi Ra, karya Awarif al-M’arif.
3. Syeh Abdul Qadir al-Jilani, karya al-Ghunyah li Thalib al-Haqqi.
4. Abdul Wahab As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
5. Syeh Abdul Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil. Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra, karya Jami’ul ushul al Auliya’
6. Syeh Muhammad Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7. Syeh Isma’il Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’ Karamah al-Auliya’
8. Syeh Jalaluddin Suyuthi Ra, karya al-Hawiy lil Fatawiy
9. Abu Nuaim al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10. Syeh Ali al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11. Ibnu Arabi Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12. Imam Ghazali Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam. Dalam beberapa kitabnya, Imam Ghazali menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan istilah al-Kamil.
13. Imam Ahmad bin al-Mubaarak dengan karya al-Ibriiz min Kalami Sayyidi Abdul Azziiz. Kitab ini merupakan catatan sejarah dan beberapa fatwa dan ajaran dari al-Ghauts Ra pada waktu itu. Yakni Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag. Syeh, yang menjabat al-Ghauts p[ada masanya , adalah seseorang yang tidak dapat membaca dan menulis (buta hurup). Namun, dalam menjawab pertanyaan tentang segala disiplin ilmu (hadis, tafsir, fiqih, nahwu/ balaghah, sejarah, maupun lainnya), jawaban Beliau Ra sangat melebihi dari jawaban para ahlinya yang tidak buta hurup.
14. Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan, dengan karya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushuul fii Ma’rifatilla wa ar-Rasuul.
15. Kitab tafsir Siraj al-Munir nya Syeh al-Khathib as-Syarbini.
Dalam kitab tafsir ini, Syeh al-Khathb memeperjelas ayat 251 surat al-Baqarah dengan hadis Nabi Saw dari Ibnu Mas’ud riwayat Abu Nuaim dan Ibnu ‘Asakir (tentang keberadaan al-Ghauts Ra).
16. Syeh Ibnu Abidin, dengan karya Ijaabah al-Ghauts. Kitab ini menerangkan, bahwa Syeh Ahmad Husaini at-Tijani (guru dari Ibnu Abidin) adalah al-Ghauts Ra pada zamannya. Kitab ini membahas tentang pangkat-pangkat serta etika atau ajaran dalam kewaliyan, khususnya al-Ghauts Ra.
17. Imam Ibnu Hajar al-Hatami dengan karya al-Fatawi al-Haditsiyah. Dalam buku ini, menerangkan nama nama dari beberapa al-Ghauts Ra. Antara lain : Ibnu Arabi, Syeh Zakariya al-Anshari dan beberapa al-Ghauts Ra yang dirahasiakan namanya, dan hanya disebut dengan seseorang yang berpangkat al-Ghauts Ra. Dan pada ulasan tentang “rijalul ghaib”, Syeh menuliskan hadis ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani dan Imam Ibnu Asakirt Ra.
18. Syeh Muhammad Usman al-Mirghani Ra (w. 1268 H), karya an-Nafahatul Makkiyah wa al-Lamhah al-Haqqiyah.[75]
Sebagai pengamal saydzalaiyah dan naqsyabandi serta mursyid thariqah naqsyabandiyah, Syeh menjelaskan beberapa nama sanad dan silsilah tarekat naqsyabandi dan syadzaliyah yang berpangkat al-Ghauts Ra. Diantaranya, Syeh Abdul Wahab at-Tazi Ra, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra, Syeh Muhammad bin Idris Ra, Syeh Abu Yazid al-Busthami Ra (w. 261 H), Sayid Imam Ja’far Shadiq (w 148 H), Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra, Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra
19. Syeh Ismail al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas. Kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan tentang hasan, dha’if, munkar dan maudlu’nya oleh para ulama.
20. Syeh Muhammad Amin al-Kurdi degan karyanya Tanwir al-Quluub. Dalam bahasan fadlul auliya’, Syeh mnejelaskan hadis tentang al-Ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir. Dan pula, pentahqiq kitab, dalam memberikan pengantar kitab, mengabarkan tentang karomah jabatan puncak waliyullah (al-Quthb al-Kabir, al-Ghauts) yang dicapai oleh Syeh Amin Ra.
21. Kitab ad-Da’wah at-Tammah-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad al-Yamani Ra.
G. Al-Ghauts Dalam al-Qur’an & al-Hadits.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk mengimani atau mengkafiri keberadaan khalifah Allah Swt, sebab kerugian dan keuntungan adanya khalifah, bukan klembali kepada Allah Swt, melainkan kepada manusia sendiri. Sebagaimana yang tercermin dalam firman-Nya Qs. Fathir : 39
هُوَالذِي جَعَلكُمْ خَلاَئِفَ فِي الاَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
Dan Dia (Allah)-lah yang menjdikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka dialah yang menanggung resiko kekafiranya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelasan, dengan menukil perkataan sahabat Abu Bakar Ra, yang mengatakan, bahwa khalifah ini adalah خَلِيْفَةُ الرسُوْلِ : Khalifahnya Rasulullah Saw.
Demi stabilnya ekosistem alam, Allah Swt menjadikan ummat Rasulullah Saw untuk menjadi pimpinan diatas bumi. Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah) akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelasakan bahwa ayat ini merupakan berita tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw yang telah mengetahui sebelumnya akan yang adanya khalifah dari ummatnya, dan sekaligus dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada ummat Rasulullah Saw :
هَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Dalam memberi penjelasan ayat ini, Imam Ibnu Katsir – memperkuatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ – حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ. وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.
Dan dalam riwayat lain : sampai mereka dapat membunuh dajjal, dan dalam riwayat lain : sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam.
Setiap riwayat hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Imam Qurthubi, memberikan penjelasan ayat ini dengan menyertakan sabda Rasulullah Saw :
زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَِكَ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timurnya dan bagian baratnya. Dan juga akan sampai kepada raja ummat-Ku sesuatu yang seperti bumi dilipat untuk aku.
Dari kedua tafsir ini, dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan atau sampai turunnya nabi Isa As dalam bumi ini. Dan para kholifah itu atau pimpinan rohani ummat Rasulullah Saw ini diberi anugrah oleh Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
Kata al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi dan para waliyullah. Beliau Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan hakikah serta lahiriyah dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud secara ruhaniyah. Al-Ghauts Ra merupakan satu-satunya wakil Rasulullah Saw dalam mengemban tugas khalifah dalam alam fana ini, serta sebagai tempat tajalli-Nya yang sempurna (lihat HR. Muslim yang diulas dalam bahasan kelemahan Waliyullah).
Secara bahasa, al-Qur'an dan hadis diturunkan secara mujmal (ringkas). Namun kandungannya menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud. Tak satupun dari inti maujudat yang tidak diulas dalam al-qur’an maupun al-hadis. Oleh karenanya, mengkaji kandungan al-Qur'an dan hadis (beristinbath), untuk mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Islam (HR. Muslim yang telah diulas sebelumnya). Para ulama, sesuai bidang keilmuan masing-masing, berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Misalnya penemunan ilmu tajwid, nahwu/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir, faraidl, ilmu da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu-ilmu lain.
Kata al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana istilah-istilah dalam ilmu (baik secara global maupun rinci), yang secara redaksional kata-kata tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis.. Misalnya; manthiq (tashawwur, tashdiq, hujjah, dan lainnya), ilmu ushul fiqh (mafhum muwafaqah, qiyas, ijma’ dan lainnya), ilmu nahwu/ sharaf (mubtada’ khabar, maf’ul, badal, dan lainnya), balaghah (hakikat, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya), musthalah al-hadits (shahih, hasan, dla’if, maudlu’, marfu’ mauquf, dan lainnya), biologi (kromoson, genetika, amuba, sel, DNA, dan lainnya), ilmu fisika (atmosfir, senyawa kimia, karbohidrat dan lainnya), ilmu ekonomi (sosialis, kapitalis, surplus perdangangan, dan alinnya), perbankan (valuta, deposito, debet, dan lainnya), dan ilmu-ilmu lain baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam al-Qur‘an dan al-hadits.
Dan kesimpulan para ulama kaum sufi dan para waliyullah, al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra, dimana setiap Beliau Ra almarhum, Allah Swt mengangkat salah satu waliyullah lain untuk menggantikan kedudukannya.
Al-Qur’an, [76] menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan kata ; khalifah / الخليفة (wakil Tuhan), Imam/ الامام (pimpinan manusia), Ulil amri/ اُولِى الاَمْر (ulama yang menguasai perkara ummat secara batiniyah).
Sedangkan dalam hadis [77] menjelaskannya dengan kata : khair / خَيْر(yang terbaik), al-Wahid/ الوَاحِد(hamba yang satu dalam setiap waktu), malik / مَلِكُ (raja), aimmah/ أئمة (pemimpin), shurah/ صُورَة (citra/ salinan. Kalimat ini hanya merupakan gambaran saja), dan مَقَامْ/ maqam (berasal dari kata aqaama/ أقَامَ : menduduku siri kerasulan/ dalam istilah thariqah Qadiriyah, disebut dengan naaibur rasul = wakil rasul).
H. Makna Waliyullah
1. Apa Dan Siapa Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja. Bahkan sering diberi arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum, kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja. Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi, serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnya Jami’ Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan karomah maknawi (batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya, kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [78]
اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ اللهُ مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai istidraj. [79]
Kata Waliy merupakan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang memiliki arti ganda (musytarak) :
1. Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungi. Dalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2. Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi. Dalam artian ini , kata wali ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat menghayati dan menerapkan makna :
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia. Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan : tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : “Tidak ada yang mengetahui wali (manusia), kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri. Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [80]
اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang lain, antara lain : [81]
a. Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai waliyullah.
Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah) mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b. Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam dalam nur hakikat.
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
d. Syeh Jalaluddin as-Suyuthi, dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bab
وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَكَشَفَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).
3. Pengalaman Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak. Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam, hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[84] dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya, hanyalah berupa prasangka yang tidak pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki, apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/ terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [85]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin. Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki yang mengatasi kesimpulan akal (pasca rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am : 33 – 34 :
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ. وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu (Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu, berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan cahayat Allah. [87]
Dikatakan mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah Saw.
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ, وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya dari bisikan iblis.
Sedangkan perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda : [89]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu semua.
Makna sebagai ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan iblis.
إنَّ الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus, pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [90]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/ kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah bershalawat kepadanya.[91]
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari 1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain : tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku, - dan dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku. [92]
Kesimpulan makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[93]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima (oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan ke 7).
وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat, misalnya dari macam-macam dzikir lafadz jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya. Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid tersebut.
Sebagian pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1. Adalah Abu Jahal.
Suatu hari Abu Jahal [95] berkata : Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya : Mana Muhammad… mana Muhammad ?.
2. Adalah Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ : Salam sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang ada disekeliling mereka. [96]
3. Adalah Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah mereka. [97]
4. Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M). Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan – direktur rumah sakit “Ain Syams” Kairo Mesir), berkata kepada saya : “aku berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali. Kepada Beliau Saw aku bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan ditanganmu ada kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab في الرد على النبهاني نيل الاما ني (Nailul Amani Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani tersebut. Dan setelah aku membakarnya, malam harinya aku bermimpi bertemu Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [98]
5. Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok, Kudus Jawa tengah.
Kawan kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab: Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo Yahi Ra, sambil berkata : Kanjeng Romo Yahi, doakan kami. Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan ia melihat cahaya yang sangat terang yang terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya seberapa jauhnya.
6. Abdullah bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang demikian ?. Imam Syafi’i menjawab : “Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i : “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[99]
7. Al-Hafidz Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang sastra arab, sejarah dam seleksi
hadis. Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun mempraktekkannya”.[100]
8. Syeh Abul Qasim al-Qari. [101]
Beliau bermimpi melihat sebuah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara dimulai, trdengar lantunan ayat al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?. Pelantikan Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub, jawab petugas.
9. Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin (paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat kepada-Nya).[102]
10. Syeh Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab Nabiyullah : diantara wali autad.[103]
11. Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts …al-Ghauts) dari arah langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12. Bapak Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13. Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga, yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[104]
14. Syeh Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15. Imam al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya : Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia ?. Al-Haitami menjawab : Ini orangnya (sambil menunjuk kepada al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini gemetar, dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria, saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16. Syeh Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17. Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan. Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18. Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta dan Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan, tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadldlarah”.
19. Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa), tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [105]
Sebagaimana keterangan diatas, kata Waliy berasal dari al-qur’an dan al-hadits. Dan mulanya kata ini diperuntukkan kepada orang-orang yang dekat kepada Allah Swt. Namun, dalam pengembangan bahasa, kata ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari dengan artian yang umum. Misalnya, walimurid, walikota, walikelas, walipengantin atau wali yang lain.
Diantara manusia, terdapat mereka yang memilih jalan lurus, sehingga menjadi Waliyyullah. Dan ada pula yang memilih jalan hidup yang menyimpang, dan kemudian mereka menjadi Waliyyusy syaithan. Memang, manusia hanya ada dalam dua posisi. Kalau tidak sebagai waliyullah, berarti sebagai waliyussyaithan, atau sebaliknya.
Banyak orang yang gemar membahas keberadaan waliyullah. Namun jarang sekali yang memperhatikan kriteria waliyullah dan waliyus syaithan. Padahal, menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak menjadi waliyullah, pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada manusia setengah waliyullah dan setengah waliyus syaithan. Yang ada hanya waliyullah atau waliyus syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan mengentaskan manusia dari belenggu setan, agar tidak menjadi waliyus syaithan.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt menjelaskankan bahwa waliyus syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong, penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai wali (penguasa, pelindung, kekasih dan penolong) bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A’raf : 28).
وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا
Barang siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung, penolong, kekasih) selain Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs, an-Nisa’ 119).
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1). Jiwanya senantiasa tidak memiliki rasa kawatir dan susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus, 62 – 63 : اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, memberi penjelasan makna auliyaillah dalam ayat ini : مَنْ تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ: Waliyullah adalah hamba yang Allah Swt telah menguasainya, menjaga kehormatannya, membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.
Kebanyakan para ulama, segabai penghormatan, setelah menuliskan atau menyebutkan nama para waliyullah Ra, menulis atau mengucapkan doa RADLIYALLAHU ANH.
2). Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [107] Allah Swt bersabda :
قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.
4). Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw (istilah Wahidiyah, Lirrasul - Birrasul). Sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an, hadis dan qaulul ulama, antara lain :
a. Qs. al-Maidah : 55 : إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ: Sesungguhnya pelindungmu adalah Allah dan rasul-Nya.
b. Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Beberapa fatwa para Ulama Arif Billah Ra :
· Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf Ismail An Nabhaniy halaman 431 [109] menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat Birrasul Saw.
لَمْ تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan waliyuulah, kecuali telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
Dan pada bab 3 dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra menuliskan fatwa dari
لايَحِقُّ لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍ إِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada guru.
· Al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) :
لَوْ حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik saja dalam setiap satu jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung diriku bagian dari golongan orang Islam.
· Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam menjelaskan hadits riwayat Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah Saw) mengatakan :
حَقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا تَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) diatas setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin, tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw. [110]
· Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas mahabbah kepada Rasulullah Saw, yang menukil fatwa (al-Ghauts fi Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari), menjelaskan :
مَنْ لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّى أنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak iman kalian sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya sendiri.
· Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ تَقْتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang menyempurnaan iman hanya dengan kesaksian kepada Allah saja, (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai kesaksian kepada Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[111]
5). Dapat memahami semua karomah dan sirri yang dimiliki oleh para nabi As serta para auliyaillah Ra memancar dari Rasulullah Saw.[112]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Setiap nabi dan rasul, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.
Disamping tugas dalam urusan lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun ummat menuju kesadaran kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw), al-Ghauts Ra memiliki tugas lain yang bersifat batiniyah.
Tugas-tugas batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a. Penjaga dan penegak kebenaran Islam (syariah dan hakikat), baik secara lahir maupun secara berdoa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
b. Menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [113]
c. Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal, Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا وأَهْلِهَا
Tiga hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap tegak.
d. Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada mahluk-Nya.
Dalam kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani pada bab “qaf” dijelaskan, tugas
rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[114]
e. Mewarisi tugas Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas).
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
d. Kelemahan Para Waliyullah Ra
Memahami pribadi al-Ghauts Ra merupakan jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu yang senantiasa mengarah kepada kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau Ra, jalan pengenalan kepada Allah Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan musyrik yang dianggap perbuatan tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
Sebagaimana umumnya manusia lain, disamping memiliki kelebihan, para Ghauts Ra juga memiliki kelemahan. Beliau Ra juga mengalami lapar, haus, sakit, membutuhkan pertolongan orang lain dan sifat-sifat manusia lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw, juga memiliki kelemahan sebagaimana umumnya manusia. Sebagaimana yang tercermin dalam keterangan dari :
d.1. Firman Allah Swt, Qs. al-A’raaf : 108 :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah.
Kelemahan yang ada pada Rasulullah Saw, inilah yang sering disalah artikan oleh orang-orang yang mengingkari kelebihannya sebagai tempat bertawassulnya mukmin kepadanya. Dengan dalih, bahwa Rasulullah Saw, dalam satu hal tidak dapat menolong dirinya, apalgi menolong orang lain. Padahal semestiya, kelemahan Rasulullah Saw, tidak menghilangkan kelebihan yang ada padanya. Kerana semua itu terjadi dan terlaksana atas kehendak Allah Swt semata.
Diantara kelebihan Rasulullah Saw, sebagai pebersih jiwa dari kekafiran dan kemunafikan. Firman Allah swt, Qs. Ali imran : 164 : [116]
لَقَدْ مَنَّ اللهُ الذِيْنَ أَمَنُوا اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِم وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ
Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat kepada orang-orang mukmin ketika (Allah) mengutus didalam kelompok mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka al-Quran dan hikmah.
أَنَاالمَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْرَ أَنَاالحَاشِرالذِي يُحْشَر النَاسِ عَلَى قَدَمِي
Aku adalah pembasmi, yang mana Allah membasmi kekufuran dengan-ku, Aku adalah Pengumpul, yang manusia dikumpulkan diatas tapak kaki-Ku.
Allah swt berfirman, Qs, an-Nisa’/ 49 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلْ اللهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
Apakah tidak kamu memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah-lah membersihkan siapa yang dikehendakinya. [118]
أَتَانِي جِبْرِيْلُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ : لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad, Allah telah berfirman: Kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
d.2. Hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khatthab, Rasulullah Saw bersabda :[120]
وَلَمَّا اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِ ذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda : Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad Rasulullah. Oleh karenanya aku mengerti bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda : Benar kamu (Adam). Ia (Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu.
Setelah wafatnya Rasulullah Saw, tugas tersebut dilanjutkan oleh para ulama, kiyahi dan tokoh masarakat serta waliyullah Ra, yang secara kemanusiannya memiliki kelemahan.
إِنَّ للهِ تَعَالَى عِبَادًا يُعْرِفُونَ النَاسَ بِالمُوسِمِ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang mengetahui getaran hati manusia
Makna Ya,rifuuna = yang mengetahui dalam hadis diatas, para ulama tasawuf memberikan penjelasan :
يَطْلَعُونَ عَلَى مَا فِي ضَمَا ئِرِهمِ وَأَحْوالِهِمْ
Ditampakkan kepada mereka bisikan dan getaran hati manusia serta haliyah manusia.
أَيْ بِالنُفوسِ. قَالَ المُنَاوِي غَرِقُوُا فِي بَحْرِ شُهُودِهِ فَجَادَ عَلَيْهِمْ بِكَشْفِ الغِطَاءِ عَنْ بَصَائِرِهِمْ فَاَبْصِرُوا بِهَا بَوَاطِنَ النَا سِ
Yakni: dengan jiwa. Al-Munawi berkata : mereka semua tenggelam (istighroq) didalam lautan musyahadah Tuhan, sehingga mereka terbuka penutup jiwanya dari beberapa bashirahnya, sehingga tampak bagi mereka (dapat melihat) batiniyah manusia
إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kepada kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan antara Allah.
Tanpa sinar radiasi batin Rasulillah Saw wa Ghautsi Hadzaz Zaman Ra, manusia tidak dapat mengetahui jenis- jenis nafsu, alagai menghilangkannya. Hanya dengan kontak batin (ta’alluq bihasabir ruhaniyah) kepada Beliau Ta secara terus menerus, manusia dapat mengetahui dan menghilangkan nafsu- nafsunya, dan makrifar kepada Allah secara sempurna. Syeh Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan :
تَزْكِيَةُ النَفْس لاَ تَتَيَّسَراِلاَ بِنَظْر نَبِيٍّ اَوْ وَلِّيٍ ذِي تجْربَةٍ فِي هَذَاالشَأْ نِ
Pembersihan jiwa tidak akan mudah, kecuali dengan nadzrah Nabi atau wali (al-Ghauts – pen) yang memiliki keahlian tersebut. [124]
e. Laknat Allah Bagi Mereka Yang Memusuhi Waliyullah
Allah Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah. Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1. Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda :
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan hadis ini, kitab “Dalil al-falihin”, juz III menjelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain, menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakanya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3. Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"), Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir) jahiliyah.
Kata “amir” dan “sultan” dalam hadis ini dapat diartikan umum (semua orang yang menjadi pimpinan), dan arti khusus (Amirul khalqi (pimpinan para waliyullah, dan semua makhluk, atau Guru ruhani yang berpangkat al-Ghauts Ra). Dan Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikannya dengan arti khusus.
Pendapat ini didasarkan kepada : [126]
1. Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah.
2. Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.
E. Kedudukan Al-Ghauts Ra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar