Senin, 14 Juli 2014

E.      Kedudukan Al-Ghauts Ra
Paling tidak terdapat tiga alasan, mengapa manusia perlu memahami keberadaan, keagungan, kedudukan dan tugas al-Ghauts Ra. Pertama, secara batiniyah Beliau Ra memiliki sirri yang menembus keseluruh alam, kedua, untuk meneladani perikehidupannya, dan ketiga, untuk membebaskan jiwa salik dari kemusyrikan.
Dan -  dalam istilah Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra -, al-Ghauts Ra atau Sufi Yang Sempurna, bagaikan tempat untuk menyimpan ilmu dan hikmah Rasulullah Saw, kediaman yang aman dari gangguan setan, tempat kebahagiaan yang pasti dan gua bagi para arifin dan waliyullah. Karena dalam jiwa beliau terpancar takdir Tuhan untuk mahkuk-Nya. [127] Setiap waliyullah berada dalam gua naungannya, yang mana naungannya adalah terpancar dari Rasulullah Saw. Dan naungan Rasulullah Saw adalaha naungan Allah Swt.

f.                  Secara Jasmani dan Rihani.
Dapat dimaklumi pemahaman yang berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim tentang keberadaan Ghauts Ra, masih sangat minim. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa al-Ghauts itu hanya Syeh Abdul Qadir, Syeh Syadzili, Syeh Naqsyabandi, Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah (Qs wa Ra), dan tidak ada al-Ghauts lagi setelahnya. Padahal kesimpulan semacam ini tidak memiliki dasar dari kaidah yang benar, dan hanya sebuah persepsi atau bahkan hanya sebuah opini.
Diantara tujuan dita’lifnya Shalawat Wahidiyah oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra untuk memahami dan membuktikan – melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah) – kebaradaan al-Ghauts Ra secara kassyaf dan musyahadah. Dan alhamdullah – sebagai tahaddus binni’mah - banyak diantara pengamal Wahidiyah mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw dapat memahami kebaradaan al-Ghauts Ra.
Keberadaan al-Ghauts Ra – sebagaimana keterangan dalam hadis shahih -, secara jasmani dan ruhani. Dan tidak ada al-Ghauts ra menjalankan tugas sebagai khalifah Rasulullah Saw dari alam barzah atau alam kubur. Rasulullah Saw bersabda : [128]
          إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ اَدَمَ.  وللهِ فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مُوسَى.
 وللهِ سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ. ولله
فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ. وَلله فِي الخَلْقِ وَاحِدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل. فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الخَمْسَة .َاذَا مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ .فَاذَا مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ  اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ.  فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ.  فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيُمْطِرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
             Sesungguhnya didalam makhluk (alam) terdapat 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam. Dan Allah memiliki 40 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Musa. Dan Allah memiliki 7 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Ibrahim. Dan Allah memiliki 5 orang, yang hatinya seperti hati Jibril. Dan Allah memiliki 3 orang, yang hatinya seperti hati Mikail. Dan Allah memiliki 1 orang, yang hatinya seperti hati Israfil.
            Ketika 1 orang ini mati, Allah menggantikannya dari salah satu 3 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 3 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 5 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 5 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 7 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 7 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 40 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 40 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 300 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 300 orang, Allah menggantikannya dari orang awam.
            Sebab mereka kehidupan atau kematian. Sebab mereka hujan turun dan tamanam tumbuh. Dan sebab mereka bala/ musibah tertolak.
          Kalimatمَاتَ / maata : mati, yang dirangkai dengan, اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ Allah menggantikan kedudukannya dari salah satu 3 orang, dalam hadis riwayat Abu Nuaim al-Isfahani dan Ibnu Asakir  dari Ibnu Mas’ud Ra diatas, dengan menjelaskan keberadaan al-Ghauts Ra, bukan secara ruhani dari alam barzah, akan tetapi secara jasmani dan ruhani.
Dalam kitab al-Yawakit juz II, hlm 80, diterangkan :
وَمِنْ شُرُوطِهِ اَنْ يَكُونَ ذَا جِسْمٍ طَبِيْعِيٍ وَرُوْحٍ , وَيَكُونُ مَوْجُودًا فِي هذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَحَقِيْقَتِهِ  فَلاَبُدَّ اَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي هَذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ مِنْ عَهْدِ اَدَمَ اِلَى يَوْمِ القِيَا مَةِ
Dan diantara persyaratan (keberadaan) Al Ghauts Ra : Wujud dengan rohani dan  perwatakan  jasmani pula . Dan dalam kehidupan nyata (sejak zaman Nabi Adam sampai hari qiyamat.
          Telah banyak kitab tasawuf yang menerangkan, bahwa para al-Ghauts Ra  memohon kepada-Nya, jika sekiranya Beliau Ra wafat,  Allah Swt berkenan mengangkat putranya atau keluarga yang lain sebagai al-Ghauts untuk menggantikannya.        Dan sebagai calon pengganti, mereka berada dalam asuhan al-Ghauts sebelumnya.
Misalnya, al-Ghauts fi Zamnihi Syeh Muhammad Wafa, digantikan oleh  putranya (Syeh Ali Ibn Muhammad Wafa), al-Ghatus fi Zamnihi Syeh Ali al-Khirqani, digantikan oleh putranya (Syeh Ibrahim Ibn Ali al-Khirqani). Syeh Sari Saqti digantikan oleh keponakannya sendiri (Syeh Junaid al-Bagdadi), Syeh Baba Samasi digantikan oleh muridnya (Syeh Amir Kulal), Syeh Amir Kulal digantikan oleh murid dan kawan seperguruan, yakni Syeh Bahauddin Naqsyabandi. Syeh Abdul Qadir Jailani digantikan oleh  putranya (Syeh Abdur Razaq).  Syeh Daud Ibnu Makhla digantikan oleh Syeh Muhammad Wafa (muridnya), Syeh muhammad Wafa digantikan oleh murid putranya (Syeh Ali Ibn Wafa), Syeh Abun Najib Suhrawardi digantikan oleh keponakannya (Syeh Syihabudin Umar Suhrawardi Ra (pemilik kitab “Awarif al-Ma’arif).

g.                 Jumlah al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw juga hanya satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak keterangan dari hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang menjadi tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81. menjelasan :
 فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ
Dan diantara mereka, dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah al-Ghauts.

Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :

فَلاَ يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ  يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ تَعَالَى مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي           
Tidak akan sepi pada setiap zaman dari seorang rasul-nya Nabi Muhammad Saw (mujaddid). Dialah al-Quthbu (al-Ghuts Ra), yang menjadi tempat pancaran sinar pemeliharaan Allah kepada agama Islam dan alam. Dan kemudian dari Beliau Ra bercabang-cabanglah seluruh pemeliharaan tersebut kepada alam atas dan alam bawah. [129]

h.                 Gelar  Bagi Al-Ghauts  Ra
Berbagai macam gelar dan sebutan yang diberikan oleh para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan kepada al-Ghauts Ra. Dan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain  :
1.       Insan Kamil.  (Manusia Sempurna).[130]
Dalam kitab Misykat al-Anwar[131] pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
 فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ
 Barang siapa dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Sebagaimana penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang ahli hadis) – yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian  : [132]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. DanUlama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
2.           Al-Quthbu (wali quthub) atau  Quthbul Wujud (Poros Wujud).[133]
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.

اِعْلَمْ حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِ أَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ  فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ

Ketahuilah, semoga Allah menjagamu. Sesungguhnya manusia paripurna itu adalah al-Quthbu, yang mana seluruh wujud dari awal sampai akhir senantiasa mengitarinyaBeliau itu hanya satu selama wujud ini masih ada. Beliau menampakkan diri dengan berbagai macam baju dan sangkar. Sedangkan asalnya nama al-Quthbu adalah untuk  Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw dalam setiap zaman bersama umat manusia dengan baju al-‘Arif  tersebut, dengan menyesuaikan keadaan zaman.

Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’rani,  halaman  82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah, sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),  Allah  menjaga  alam wujud ini secara keseluruhan. Barang siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah menjaga wujud alam.
Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya [134] Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi, bab “wawu” dan bab “qaf”,  dijelaskan  :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ,  يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw. Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang kaidah yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi kedudukan quthub kedalam 3 bagian. Pertama, quthbul ilmi, seperti Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra. Kedua, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid al-Bushthami Ra. Ketiga, quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir al-Jailani.[135]
Dan – sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang memberitahukan, bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki ketiga-tiganya. Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan makrifat dari seluruh Ghauts sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai derajat mujtahid dalam bidang tasawuf dan tarekat.
3       Wahiduz Zaman (satu-satunya  hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar  jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menukil fatwa Muhammad Wafa :[136]
لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَاسِ
Untuk setiap zaman terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya, dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya :  Engkau adalah ummat manusia terbaik yang diturunkan kedunia.
Syeh Amin Al Kurdi Ra menjelakan : [137]
          لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
           Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.
4.       Sulthanul Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan,  juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.
5.       Al-Mujaddid = Pembaharu / Reformer .
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus sebagai pembaharu dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti semula. Gelar Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/ atau al-Murabbi (Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak berpangkat al-Ghaus Ra. Diantara al-Ghauts yang sekaligus seorang mujaddid :
1).  Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).
          Beliau Ra adalah penulis kitab Quut al-Quluub. Kitab ini menjadi rujukan kaidah
tasawuf oleh para pembesar sufi pada masa berikutnya. Dan banyak ulama yang mengatakan, bahwa kitab inilah yang mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.
2).  Hujjatul Islam  Imam al-Ghazaliy (w- 1111 M).[138]
Dalam kitab al-Munqid min al-Dlalal (jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan pengalaman batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam beribadah dan berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata niatan hati tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan kehormatan dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan tetapi menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah”. Beliau mengasingkan diri. Namun, ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya berbisik : kasihan ummat dididik oleh orang-orang yang tidak mengerti agama. Dan kembalilah Imam kebangku perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang dan mengajar, dikoreksinya niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa dirinya berjuang bukan karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan ketenaran diri. Merasa usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang kerahmatullah, Imam mengasingkan diri kembali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh untuk memohon hidayah-Nya.
3).  Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w. 896 H).
Ketika kurang 1 minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada waktu itu, berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah dewasa, nantinya dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah bayi kecil yang diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan kepada Syeh Baba untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut sowan, Syeh berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak ini, ikutilah dia.
4).  Syeh Abdullah Umar al-Ahdali as-Sirhindi (w. 1035 H).
Dalam syarahnya kitab “Faraidul Bahyah”, yang sering disertakan oleh para penerbit, dalam kitab “al-Asybah wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/ hamisy, dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.
5).  Syeh Abdullah Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri tarekat Haddadiyah.
Beliau Ra ini mengalami buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil dia tekun menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah satu kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh, banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah, Adab Sulukil Murid, Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah) dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.
6).  Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra).
Mbah KH. Muhammad Ma’ruf Ra, Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, pernah mimpi mengitari dunia sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi subur, padahal sebelumnya tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH. Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya dapat menyadarkan ummat manusia jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau Qs wa Ra tidak meninggalkan sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan hanyalah Shalawat Wahidiyah, yang jika mau memandang dengan hati yang jernih, bebas darirasa iri, dengki dan ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang merupakan inti dari kesempurnaan keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu pula didalam shalawat Wahidiyah mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra, dan sekaligus memberikan jalan untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum dilakanakan oleh para al-Ghauts sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah menyelesaikan permasalahan keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa pengamalnya mudah bertemu Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.

* *    Catatan Penting.
          Diantara al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324 H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke 3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah,  Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab  al-Insan al Kamil juz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir Jailani,  Imam Nawawi, Syeh Muhammad Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani.
7.                 Khatmul Auliya .
Al-Ghauts berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy, bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam,  yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah Swt dalam setiap zaman.
8.       Murabby  al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar, dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan  :
  وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).
9.       Al-Jami’ul Khalqi. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat sandaran mahluk secara batiniyah. [139]
 اِعْلَمْ اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع نَظْرِاللهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ.  وَمِنْ لَدُنْهُ يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ الرُوْحِ فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ.  هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الاَعْلَى وَالاَسْفلِ. فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم
                        Ketahuilah sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat pengungsian mahluk. Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai pengumpul mahluk. Beliau juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zamanDari diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan lahir  sebagaimana mengalirnya ruh kedalam seluruh jasad.  Dari diri Beliau, Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun alam bawah. Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi Muhammad Saw.
10.      Abdul Warits (hamba dari Dzat Yang Mewariskan).[140]
Dalam kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat dinamakan Abdul Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan sari makna kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri Rasulullah Saw.
لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا بِبَقَاَءِ الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ  لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ
          Karena al-Ghauts ketika sudah berada pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari maqam fana’[141] dari dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/ universal. Dan Beliau mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu diperolehnya setelah  memasuki maqam jiwa kulliyat.
Dalm kitab Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman 414 diterangkan,  setelah Nabi Muhammad Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali Ra (pendiri tarekat syadzaliyah)
          وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ  
        Pewaris sirri pimpinan rasul yang paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.
11.      Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan Menyempurnakan).
Dalam kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”(Majmu’ah Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173),  Imam al-Ghazali menerangkan tentang keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.
اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَى طَرِيْقِ اللهِ. وَهَكَذَا اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ
Sesungguhnya bagi setiap salik harus adanya mursyid yang membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As kepada mahluk, sebagai bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan yang lurusSebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat, Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya, agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah.
Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Maka, setiap salik wajib memiliki seorang mursyid.
Dan Imam Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang hakiki, mendapat limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara langsung.
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَر سَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم  فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ  عَلَى  مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini, wajib baginya menghormatnya  secara lahir dan batin.
         
Orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan senantiasa bersama dengan orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun batiniyah, dalam iman, islam maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
   يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah : 119).
Seseorang bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang benar) sebagaimana keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia terus bersamanya, maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan lurus. Sebagaiman tercermin dalam sabda Rasulullah Saw  : [142]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.    
kamu semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu bersamanya.
Rasa jenuh sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu keadaan secara terus menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi. Demikikian pula, seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang Kamil, setan/ nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan dalam hati murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan secara ruhani) kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI tersebut. Dalam hal ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti mukmin agar tetap dan sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28  :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Sabarlah kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar bersama guru,  meskipun merasa kurang senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda : 
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ,فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Bersabar dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil Mukammil merupakan hal pokok untuk meluruskan keimanan. Jika seseorang keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Dalam mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :
         مَنْ دَخَلَ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوكَانَ لَهُ عِبَادَةُ الثَقَلَيْنِ
Barang siapa yang memasuki dunia sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari kelompok  jin dan manusia.[143]
Para ulama yang Arif Billah, mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin) Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut dan yang telah teruji.[144] 
لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ بِنَظْرِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.
Kotoran hati tidak akan hilang kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.
Dan jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Pada hari itu (kiamat) tidak dapat memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali orang-orrang yang datang (menghadap) kepada Allah dengan hati yang selamat (bersih). 
Sebagai pengamal dan khadimul Wahidiyah, mari kita tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar dapat beristiqamah bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.
Sirri dan kemampuan Mursyid Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,  Rasulullah Saw bersabda   : 
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya.
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia tertolong.[145]
          Dengan demikian, mengetahui pribadi hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya menuju kepada jalan tersebut.
1.     Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana keterangan tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal “ajaib al-qalbi”, menjelaskan :
وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ)  لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ   
Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.
Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :
رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.  
 Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan cara yang benar. Dan keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan jadikan untuk kami pimpinan yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran dan akan hancur kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.
Dengan demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/ isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang dengan Sultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun ukhrawi.


G.               Sikap Dan Kawajiban Salik
          Agar berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok yang harus diperhatikan oleh setiap salik : [146]
1.                  Secara batin tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang berseberangan dengan guru.[147]
2.                  Senantiasa berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari Beliau Ra.
3.                  Senantiasa bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon tarbiyah-Nya agar
terbebas dari kotoran  hati, sehingga dapat sadar  ma’rifat Billah wa  Rasulihi Saw.
4.                  Jika seorang mursyid wafat, wajib bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ  
Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh penganti untuk membimbingnya.
          Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w. 973 H, dalam bab “adabul murid.
5.       Mendekat  kepada  Beliau Ra dengan  pendekatan yang semestinya. Sebab  pendekatan tersebut akan terbukalah pintu hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
  Hati orang yang Arif Billah adalah hadlrahnya Allah Swt. Seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah tersebut.
Cara pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan, antara lain  :
1).          Merasa mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil Mukammil.
  Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah : 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang benar) untuk mengalahkan (kaum yang aniaya)  dengan kelompok lain, niscaya rusak binasalah bumi.  Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang agung. 
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir,  menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ  dalam ayat  diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir yang menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap Beliau ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan kedudukan ghautsiyah.
2).          Mengikuti tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin (ruhani dan jasmani).
3).                Memahami dan mendekat secara lahir dan batin kepada Beliau Ra dimanapun berada. (rabithah).
4).          Berakhlak kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah SAW. [148]
 فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
    Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw membentuk jiwa al-Ghauts sebagai fotocopi  jiwa  Beliau Nabi SawTidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.  
Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah bab “adab murid kepada guru”, diterangkan; apabila murid ingin cepat berhasil dalam menuju dan mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib baginya menjalankan hal berikut ini:
a)                 Murid wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang melebihi batas. Serta merendahkan diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan diri murid yang berlebihan, merupakan racun yang dapat membunuh hati dan makrifat.
b)                Murid tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang ditunjukkan kepadanya. Guru Mursyid Kamil Mukammil tidak mungkin memerintahkan kesalahan. [149]
Hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda : [150]
  مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
 Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya
Yang dimaksud mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan, bahwa hal-hal  yang dapat dikatakan menghina antara lain;  menganggap ringan terhadap perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
c)                 Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt, berguru kepada Mursyid kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan  mistik atau lainnya yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mendekat dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
d)                Setelah bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan sekali-sekali keluar dari barisannya. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas,  Rasulallah Saw bersabda :  [151]
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
e)                 Untuk menyempurnakan taqwa, seseorang diharuskan berkumpul dengan orang-orang yang pemahaman tauhidnya telah dibenarkan oleh Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. at-Taubah : 119 :
   يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar.
Tidak berguru kepada Syeh Kamil Mukammil menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah (memahami Tuhan secara terbelok, serta tidak dapat memahami keberadaan dan tugas Rasulullah Saw).
f)                  Wajib menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada dirinya, kecuali kepada gurunya.
g)                 Tidak boleh menyukai dispensasi kemurahan dari guru. Dan tidak boleh bermalas-malasan.
h)                Senantiasa mohon doa restunya dalam segala urusan yang halal.
          Hadits riwayat Thabrani dan Abu Ya’la, Rasulullah Saw bersabda  : [152]
     إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئَا أَوْأَرَادَ عَوْنًا فِي الاَرْضِ لَيْسَ فِيْهِ أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَاعِبَادَ اللهِ أَعِيْنُوْنِي
Jika kamu semua tersesat tentang sesuatu atau menginginkan pertolongan diatas bumi, yang ditempat itu tidak ada penolong, maka berkatalah : “Wahai Kekasih Allah yang ahli beribadah, tolonglah kami ini.
إِنَّ للهِ خَلْقًا خَلَقَهُمْ اللهُ لِحَوَئِجِ النَاسِ وَيَفْزِعُ إِلَيْهِمْ النَاسُ فِي حَوَائِجِهِمْ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang diciptakan untuk kebutuhan manusia. Dan manusia meminta tolong kepada mereka dalam segala hajatnya.
Hadis riwayat Abu Ya’la, Thabrani dan Ibnus Sunniy dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [153]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَلْيُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي, يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا. فَإِنَّ للهِ  عَزَّ وَجَلَّ فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ لَكُمْ.
Ketika hewan piaraan salah satu dari kamu lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah, tolong dan ikatlah hewan piaraanku. Wahai Hamba  Allah,  tolonglah dan ikatlah hewanku”. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulya lagi Maha Agung memiliki seorang hamba (yang dapat) hadir (seketika), dan yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu semua.
 Dan dalam kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi, redaksi hadis tertulis :[154]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَليُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي. فَإِنَّ للهِ  فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ عَلَيْكُمْ.
Ketika hewan piaraan kalian lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah,
 (tolong) ikatlah hewan piaraanku”. Sesungguhnya diatas bumi Allah memiliki hamba (yang dapat) hadir  yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu.
i)                   Memahami bahwa hal luar biasa yang dimiliki oleh para waliyullah atau lainnya, adalah pemberian Allah Swt yang terpancar dari Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syamsuddin al-Hanafi Ra (w. 847 H) menjelaskan, bahwa karamah yang muncul dari para wali dimanapun mereka berada\ pada hakikinya memancar dari al-Ghauts Ra pada waktu itu.[155]
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
j)                   Meyakini bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw. Maka, menentang Guru Yang Kamil berarti menentang Rasulullah Saw.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :[156]
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
          Dalam kitab al-Insan al-Kamil Syeh Abdul Karim al-Jiliy, para waliyullah dan ulama sufi memfatwakan  :
إِنَّهُ لاَيَزَالُ يَتَصَوَّرُ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِأَكَابِرِهمْ لِيُعْلَى شَأْنُهُ فَهُمْ حُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa membentuk (jiwanya) pada setiap zaman dengan pembesarnya ummat manusia, agar terhormat derajatnya. Maka pembesar tersebut merupakan khalifahnya secara lahir, sedangkan Beliau Saw merupakan batiniyahnya pembesar itu.
Dalam meningkatkan iman, tidak boleh terjebak dalam kesesatan sebagaimana kesesatan kaum Nabi Isa As.  Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah, ayat 72  :
 لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم
 Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam menjelaskan ayat ini, Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra mengatakan  :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا  كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan. Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah. (Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir, juz I dalam bahasan pertama).

Hadis riwayat Imam G.  Al-Ghauts Dan Pembersihan Syirik
Nasai dari Khudzaifah ra. Dia berkata : Aku bermimpi melihat orang yahudi berkata : kalian mengira kami menyekutukan Allah, padahal kamu juga menyekutukan-Nya, ketika kamu berkata : “Allah telah menghendaki, dan Muhammad juga menghendaki”. Setelah aku bangun, aku melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Baliau Saw bersabda  :
 أَمَّاإِنِّي كُنْتُ أُكْرِهُهَا لَكُمْ, فَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ 
Sedangkan aku, sesungguhnya kalimat itu bagi kamu semua. Maka, katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian aku menghendaki. [157] 
Dan dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda :[158]
لاَتَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ فَلاَنٌ, وَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ.
Janganlah kamu semua mengatakan : “Allah telah menghendaki, dan fulan juga telah menghendaki”.  Dan katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian fulan menghendaki”.
Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra meriwayatkan :[159] seseorang sedang berceramah : مَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ رَشَدَ. وَمَنْ يَعْصِهِمَا .... barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang mendurhaki mereka berdua… .
Ketika khathib sampai kalimah : mendurhaki mereka berdua, tiba-tiba Rasulullah Saw memotong pembicaraan dan bersabda : بِئْسَ خَطِيْبُ القَوْمِ أَنْتَ, إِذْهَبْ. Sejelek-jelek pemberi ceramah kaum (ku) adalah kamu, pergilah.  
Para ulama menjelaskan; Rasulullah Saw tidak suka terhadap kalimat mereka berdua, menunjukan kalimat tersebut dapat dimaknai penyekutuan antara dirinya dengan Allah Swt. Padahal yang benar, kehendah Rasulullah Saw adalah kehendak Allah Swt semata. Sebagaimana keterangan ayat 17 surat al-Anfal :
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي
Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.  
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :
 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وَالأَنْبِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik, menjadikan waliyullah dan para Nabi sebagai wasilah dengan tanpa Allah.[160] 
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra, Syeh Sahal at-Tustari Qs. wa Ra menjelaskan  : Orang mukmin adalah orang yang hatinya mampu memandang Allah Swt tanpa ada pembatas. [161]
Al-Ghauts fii Zamanihi Imam Ja’far Shadiq Qs. wa Ra (w. 148 H), menjelaskan :[162]
مَنْ زعَمَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ فِي شَيْئٍ أَوْمِنْ شَيْئٍ أَوْعَلَى شَيْئٍ فَقَدْ أَشْرَكَ بِالله اِذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْئٍ لَكَانَ مَحْمُولاً وَلَوْ كَانَ فِيْ شَيْئٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوكَانَ مِنْ شَيْئٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
Barang siapa mengira bahwa  sesungguhnya Allah Swt. itu di dalam sesuatu, atau dari sesuatu atau di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik dengan Allah (syirik billah – istilah dalam wahidiyah “binafsih”).  Jika Dia di atas sesuatu berati Dia terpikul, jika Dia berada dalam sesuatu niscaya Dia terkurung, jika Dia dari sesuatu berati Dia baru (diciptakan).
Perjuangan Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah, memperjuangkan terbebasnya jiwa manusia dari penyakit kemusyrikan. Jalan atau cara paling tepat dan cepat untuk pembersihan jiwa dari kamusyrikan, hanyalah melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada zamannya. Tanpa bimbingan belia-beliau tersebut, sesorang akan meninggal dunia (wafat) dalam keadaan membawa dosa besar (syirik) yang tak disadariDan pula, tanpa melalui bimbingan tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang terbalik. Misalnya, syirik  dianggap bertauhid, dan bertauhid dianggap sebagai perbuatan syirik. Bagi mereka yang tidak memahami kekuasaan Allah Swt, bertawassul kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dianggap sebagai perbuatan syirik, dan tidak meminta pertolongan kepada rasul atau al-ghauts dianggap sebagai perbuatan bertauhid. Padahal, menjauh dari pertolongan Rasulullah Saw atau barakah serta karamah al-Ghauts Ra, berarti menjauh dari rahmat Allah Swt yang terdapat pada beliau berdua.
Mengapa demikian ?. Jawabannya sangatlah mudah. Yakni syafaat Rasulullah Saw atau barakah karamah al-Ghauts Ra, hakikinya adalah rahmat Allah Swt untuk ummat manusia yang dipancarkan melalui kekasih-Nya tersebut. Dan, memang Allah Swt menurunkan rahmat untuk makhluk, dipancarkan melalui mahkhluk lainnya. Demikian pula, merupakan perbuatan syirik, ketika seseorang memohon pertongan kepada beliau-beliau tersebut atau tidak, selama tidak menyesadari bahwa pertolongan yang muncul dari beliau, bukan pertolongan dari Allah Swt.
Didalam Islam, makna kata kufur (kata jadian dari kafara), adalah mengingkari keberadaan Tuhan Pengatur semesta alam. Pengingkaran tersebut terjadi karena mata hati tidak dapat melihat Kebesaran-Nya karena tertutup makhluk ciptaan-Nya. Dengan lain kata; kufur dapat diartikan dengan “mata hati tidak dapat memandang Tuhan karena tertutup oleh mahluk”. Dan kemudian, orang yang tidak mempercayai adanya Allah Swt Tuhan Yang Mengatasi segala makhluk, disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati, dan hanyalah mahluk saja yang tampak dalam hati dan fikiran.
Oleh al-Qur’an, iblis [163] digolongkan dalam kelompok orang kafir,[164] bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada Nabi Adam As. Karena tertutup oleh keangkuhan dan keakuannya,  iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Sedangkan berbagai alasan yang diajukannya kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah untuk menutupi keakuan serta keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan setinggi-tingginya. Untuk menutupi keakuannya dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan ilmu bila dibandingkan dengan kelompok malaikat.[165] Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt, sedangkan malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci, lebih pantas menjadi khalifah.
Kuatnya dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat ke-Maha Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga, meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As,[166] iblis tetap mempertahankan keakuan dan keangkuhannya dan tidak mau menerima kekhalifahan Nabi Adam As.
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu daya dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka memahami keberadaan dirinya serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Dan - berkat hidayah-Nya semata -, malaikat dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru Ruhani [167] bagi mereka. Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan menerimanya sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan atas ego diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nurul Khilafah al-Ilahiyah yang dipancarkan kepada Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad : 71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani) manusia (Adam) dari tanah.  Ketika Aku telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Berkaitan dengan sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam kitab tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah pada ulasan Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ, كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya.  Sebagaimana  ka’bah  sebagai  kiblat  untuk shalat. Sedangkan sujudshalat  hanya untuk Allah. [168]
Demikian pula Imam Shawi Ra dalam kitab Tafsir Shawi, menjelaskan tentang makna sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As :
 وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ للهِ
 Nabi Adam Assebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud untuk Allah.  Dan dalam memberikan ulasan terhadap kalimah ayat : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ  Sujudlah kalian kepada Adam, beliau menjelaskan dengan أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ  Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian.
Keterangan yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M. Quraisyi Syihab. Sebagaimana ulasannya : “Bahkan tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud sebagaimana  Ka’bah di Mekah dewasa ini menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.[169]
Makna ulasan seperti diatas sejalan dengan makna sujudnya saudara Nabi Yusuf As kepada Nabi Yusuf As. Qs. Yusuf : 100  :
   وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى العَرْشِ وَخَرُّوْا لَهُ سُجَّدًا
Dan naiklah kedua orang tuanya, dan kemudian mereka tersungkur dengan bersujud kepada Yusuf.
            Dan, ketika syariat Islam datang, perbuatan sujud ini dibatalkan dan diganti dengan bershalawat dan taslim yang semestinya kepada Rasulullah Saw. Firman Allah Swt, Qs. al-Ahzaab : 56 :  يَأَيُهَا الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا : Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya (Nabi) dan taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya.


I.      Al-Ghauts Dan Jalan Kebenaran
3.                Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terawal dan terakhir
Nabi Muhammad Saw sebagai nabi yang dicipta paling pertama dan yang diutus paling akhir. Allah Swt mengambil perjanjian kepada para nabi dan para rasul dengan Nabi Muhammad Saw, sebelum mereka diturunkan kedunia untuk memimpin ummatnya.
Hadid dari Irbadl bin Sariyah Ra, Rasulullah Saw bersabda : [170]
كُنْتُ أَوَّلُ النَبِيِّيْنَ فِي الخَلْقِ وَأخِرُهُمْ فِي البَعْثِ  
Aku adalah pertama-tamanya para nabi didalam makhluk, dan paling akhirnya mereka dalam pengutusan.
Pada masa azal, para nabi dan rasul As mengambil perjanjian kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan dalam Qs.  Ali Imran  : 81 : [171]
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ النَبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ ذَالِكَ إِصْرِي, قَالُوْا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواوَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَاهِدِيْنَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian (pembaiatan-pen) dari para nabi. Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah. Kemudian datang kepadamu seorang rasul, yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman :”apakah kamu menerima perjanjian-Ku” ?. Mereka menjawab : “Kami mengakui”.  Allah berfirman : (Kalau begitu) bersaksilah kamu semua (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.
Ayat diatas dijelaskan lagi dalam Qs. al-Ahzaab : 7 :
 وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبْيِّيْنَ مِيْثَاقَهُمْ
Dan, ketika Kami (Allah) mengambil perjanjian kepada para nabi.
Dalam memberikan ulasan kepada ayat ini,  al-Haafidz Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H) dalam kitab as-Syifa’, dalam juz I bab I pada pasal 7, dengan menukil fatwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw : [172]
لَمْ يَبْعَثِ اللهُ نَبْيًّا مِنْ اَدَمَ وَمَنْ بَعْدَهُ إِلاَّ أَخَذَ عَلَيْهِ العَهْدَ فِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Allah tidak  mengutus seorang nabi, dari nabi Adam dan para nabi sesudahnya, kecuali Dia (Allah) mengambil perjanjian dengan Nabi Muhammad Saw.
Demikian pula, Syeh Yusuf an-Nabhani Ra juga menukil fatwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dan sahabat Abdullah bin Abbas Ra, menjelaskan : [173]
لَمْ يَبْعَثِ اللهُ نَبِيًّا مِنْ آدَم وَمَنْ بَعْدَهُ إِلاَّ أَخَذَ عَلَيْهِ العَهْدَ فِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ
 بُعِثَ وَهُوَ حَيٌّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ وَلَيَنْصُرَنَّهُ.
Allah tidak mengutus para nabi dari Adam dan nabi sesudahnya, kecuali (Dia) mengambil perjanjian (baiat) kepada mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Jika (Muhammad) diutus dan mereka hidup pada masanya (Muhammad), maka mereka akan iman dan menolongnya (Muhammad).
Dalam hadis lain dalam kitab al-Anwar al-Muhammadiyah-nya Syeh an-Nabhani Ra diterangkan :  Allah bersabda kepada para nabi-Nya : “Jika kamu semua iman kepada Muhammad, Aku akan menjadikanmu sebagai nabi”. Mereka menjawab : “Kami beriman kepada kenabiannya.  Allah bersabda : “Aku menyaksikan kepadamu semua”.
Hadis riwayat al-Haakim dari Abdullah bin Abbas Ra.  Ia berkata : [174]
أَوحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى : آمِنْ بِمُحَمَّدٍ  وَمُرْ مَنْ أُدْرِكُهُ أَنْ يُؤْمِنُوا بِهِ  فَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَاخَلَقْتُ آدَمُ وَلاَ النَارُ وَلاَ الجَنَّةُ.
Allah memberikan wahyu kepada Nabi Isa :Berimanlah kamu dengan Muhammad dan perintahkanlah kepada orang yang kamu temui agar mereka beriman kepadanya. Dan sekiranya tanpa Muhammad Aku tidak menciptakan Adam, neraka dan surga.
Karena pentingnya menemukan guru yang hatinya tidak pernah lupa kepada Allah Swt serta dapat menjelaskan tentang-Nya secara benar, Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah agar diberi petunjuk/ jalan untuk memperjuangkan ummat tentang pemahaman Guru Ruhani Yang Kamil, dengan doa rabiyhah (nida’ serta hubungan ruhani) kepada Syeh Kamil Mukammil, yang dapat mengantarkan untuk menemukannya.
يَأَيُّهَا الغَوْثُ سَـلاَمُ اللهِ   عَلَيْكَ رَبِّـنِي  بِإِذِنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَيِّدِي بِنَظْرَةٍ    مُوصِلَةٍ لِلْحَـضْرَةِ العَيِيَّةِ
          Duhai Ghausuz Zaman, salam Allah (tercurahkan) kepadamu. Bimbinglah aku dengan izin Allah.            Pancarilah aku, duhai guruku, dengan sinar iman (mu) yang mengantarkan (aku) keharibaan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dan setelah doa ini diamalkan, beberapa orang mendapatkan pengalaman ruhani bertemu (melalui mimpi atau jaga) dengan Rasulullah Saw yang memberitahukan tangan nama dan pribadi seseorang yang Allah Swt menghendakinya sebagai al-Ghauts pada saat ini (baca, saat seseorang mengamalkan doa rabithah tersebut).

H.    Sallaab Jallaab

Ilmu nahwu/ sharaf, biologi, ushul fiqh, astronomi, secara tekstual tidak ada dalam al-Qur’aan. Namun, - menurut para ahlinya – ilmu tersebut telah tersirat dalam al-Qur’an. Begitu pula kata Jallab dan Sallaab, yang secara tekstual, tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Namun, keduanya telah mengisyaratkan adanya kemampuan makhluk yang dapat dikategorikan kepada sallab dan jallab.
Jallaab adalah kata yang berasal dari bahasa arab, serta sebagai kata jadian dari : جَلَبَ  menarik, membawa, mendatangkan. Dan kemudian kata  جَلاَّب memiliki arti : Penarik / pedagang/ yang mendatangkan. Sepert istilah yang sering kita dengar tentang doa atau usaha jalbur rizqi (doa/ atau usaha yang dapat menarik / mendatangkan rizqi). Dan sallaab sebagai kata jadian dari : سَلَبَ  (salaba) merampas, merampok, mencuriDan kemudian kata  سَلاَّب (salaab) memiliki arti perampas, pencabut, perampok, pencuri. Dengan kata lain, sallaab memiliki arti mencabutmengambil, mencuri atau makna lain yang sepadan; dan jalaab memiliki arti mendatangkan, menambah, meningkatkan, menaikkan atau makna lain yang sepadan. Kata  جَلَبَ (jalaba) : mendapatkan atau memperoleh, dan  جَلاَّب (jalaab)   dapat diartkan prang yang mendapatkan atau memperoleh. Seperti kata-kata : جَلَبَ لآِهْلِهِ  : mendapatkan nafkah untuk keluarganya.
Jallaab dan sallaab memiliki makna umum dan khusus. Makna umum dapat dimiliki oleh setiap makhluk. Misalnya, air dapat men-salaab (merampas) rasa haus, serta dapat men-jalaab (mendangkan) kesegaran tenggorokan atau tubuh, api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi masak, serta dapat men-salaab air (membuat air berubah menjadi uap). Jika, seseorang memahami kekuatan air atau api keluar dari diri air atau api (tanpa izin dari Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah) itu sendiri, maka iman orang tersebut masih bercampur dengan paham syirik.  Sedangkan makna khusus hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan dengan sesuatu yang gaib, seperti kondisi ahwal [175] setiap salik atau keimanan seseorang. Misalnya, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat seorang Ulama atau Kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, maka iman sebagian masarakat akan melorot. Jika dipahami dengan paham yang syirik, maka timbul kesimpulan bahwa iman manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan oleh kekuasaan Allah Swt, namun oleh manusia lain atau oleh lingkungan.
Didalam kaidah Islam, tidak ada makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau menolak kerugian tanpa izin Allah Swt. Jika makhluk dapat mendatangkan manfaat atau menolak kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk yang lainnya, semata-mata hanya atas izin dan kehendak dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam
1.                Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 :
       قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
            Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
2.                Firman Allah Swt, Qs.   :
ومَا النَصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ
Tidak ada pertolongan kecuali dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha bijaksana.
3.                Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah :   :
مَنْ ذَا الذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya, kecuali atas izin-Nya.
Jallab dapat diartikan “sifat yang meningkatkan”, dan Sallaab sebagai “sifat mengurangi atau menghilangkan”. Kedua sifat ini secara umum, ada pada setiap mahluk Allah Swt. Hanya saja beda dalam manfaat dan obyeknya. Misalnya, air dapat mencabut (sallaab) rasa haus manusia, serta dapat meningkatkan (jallaab) bagi kesehatan dan kesegaran badan. Racun dapat mencabut nyawa manusia. Obat dapat mencabut (sallab) penyakit manusia serta dapat meningkatkan (jallab) kesehatan manusia. Begitu  pula mahluk lain. Semestinya seluruh kekuatan mahluk itu milik Allah Swt.
Kemampuan sallab jallab ini, tidak akan dapat dipahami oleh mukmin yang memiliki keimanan yang bercampur dengan paham syirik (menyekutukan kekuatan makhluk dengan kekuatan Allah).  Misalnya,  meyakini bahwa kemampuan tersebut semata-mata dari kekuatan al-Ghauts Ra sendiri. Jallab dan sallaabnya al-Ghauts Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang imannnya tidak bercampur syirik, orang yang telah memahami ke-Maha Esa-an kekuatan dan kekuasaan Allah Swt dalam alam semesta (memiliki iman Wahidiyah).
Dalam bahasa sehari-hari, pada adat jawa terdapat istilah kuwalat (dengan orang tua atau kiyai) yang artinya sama dengan sallab, dan mendapat berkah sama arti dengan jallab.
Dengan demikian, salaab (mencabut, melorot, menurunkan - iman seseorang) dan jalaab merupakan karomah yang diberikan oleh Allah Swt kepada al-Ghauts Ra. Dan karomah tersebut bukan muncul dan keluar dari pribadi Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra semata. Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra, para waliyullah, para ulama dan kiyai atau bahkan semua makhluk hanyalah tempat tajalli (penampakan) kekuasaan Allah Swt.   
Kedua sifat (jalaab dan salaab) ini, sebagai kesimpulan dari beberapa hadits yang berderajat shahih dan hasan, antara lain  :
1)              Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    : [176]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan dalam hadis ini, kitab Dalil al-falihin juz III dijelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain : menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakannya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya.
2)              Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw  bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
Hadis ini juga mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
3)              Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya. Sebab keluar dari jamaah sulthanul auliya, menyebabkan mati seperti matinya orang kafir jahiliyah. Artinya, iman akan tercabut (sallab).
4)              HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw, bersabda  :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَانِي
Barang siapa taat kepada-Ku (Rasulullah), berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada-Ku,  berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada Amir-Ku, berarti taat kepad-Ku, dan barang siapa yang durhaka kepada Amir-Ku, berarti ia durhaka kepada-Ku
Apabila kata “amir” dimaknai dengan ulama, waliyullah atau sulthanul auliya’, maka hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab dan jallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
 Makna kata sulthan yang berkaitan dengan iman dan Islam, para ulama kaum sufi tidak memaknainya dengan sulthanul balad (pimpinan pemerintahan) Pendapat ini didasarkan kepada :
Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah. [177]
Dan hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
          Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.
5)              Hadis riwayat Muslim (dalam Shahih, bab ‘iyadatu maridl”) Rasulullah Saw bersabda : Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.

6)              Hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda  : [178]
   إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
7)             Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [179]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Hadis riwayat Muslim (5), Thabrani (6) dan Ahmad (7) diatas dengan jelas, menjelaskan adanya sifat jallab yang dimiliki oleh para guru ruhani, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra.

8)              Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[180]
Kaum sufi, didukung oleh beberapa hadits dan  al-Qur’an, menerangkan bahwa yang dimaksud  “amir” atau “sulthan” dalam hadits diatas, adalah waliyullah yang berpangkat al-Ghauts Ra.  Dan dengan kata lain, hadits diatas dapat diterjemahkan dengan :
Taat kepada Al-Ghauts Ra,  berarti taat kepada Rasulullah Saw,  yang sekaligus taat kepada Allah Swt. Dan, durhaka kepada Al-Ghauts Ra, berarti durhaka kepada Rasulullah SAW yang sekaligus durhaka kepada Allah Swt. Ketaatan mukmin akan mendatangkan peningkatan iman dan kesadaran kepada Allah Swt. Dan kedurhakaan kepada Beliau Ra, akan menjadikan turunnya iman dan makrifat seseorang”.
Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H), Guru Agung Pemandu kaum sufi pada zamannya, menyimpulkan makna hadits diatas sebagai berikut :
قلْبُ العَارِفِ حضْرَةُ اللهِ فمَنْ تقَرَّ بَ اِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتحَتِ لَهُ أَبْوَابُ الحَضْرَةِ
Hati orang arif (apalagi Amirul Arifin/ al-Ghauts RِِِِA) itu, hadrah (lambang kehadiran) Allah. Barang siapa mendekat kepadanya dengan cara pendekatan yang semestinya, maka akan terbukalah baginya pintu-pintu kehadiran (Allah)”.
Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif -nya al-Ghauts fii Zamanihi Syekh Syihabuddin Suhrawardi Ra, dalam bab ke 10), diterangkan  :
َ          الشَّيْخُ يُعْطِي بِاللهِ وَيمْنَعَُ بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ مُرَادَهُ فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ نَفْسِهِ.
Syekh (al-Ghauts Ra), memberi atas kehendak Allah, dan menolak atas kehendak Allah. Bahkan dia bersama kehendak Allah. Dan Allah mengetahui segala kehendaknya. Maka kehendak Syekh dalam segala sesuatu dengan kehendak Allah Swt, dan bukan dengan kehendaknya sendiri.

Jallab dan sallab yang dimiliki makhluk.
b.        Sallab Malikat Izrail As.
Sebagaimana diketahui, setiap kematian, pencabut (sallab) nyawa adalah malikat Izrail As. Namun secara hakiki yang mematikan dan yang menghidupkan makhluk hanyalah Allah Swt semata.
c.        Jallab Malikat Mikail As.
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagi (jalab) serta pengambil (salab) rizki, baik rizki lahir atau batin, setiap makhluk, secara hakiki hanyalah Allah Swt, sedangkan secara lahiriyah atau syriat adalah malikat Mikail As.
d.        Jallab Malikat Jibril As.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik  dijelaskan, ketika menjelang keberangkatan Rasulullah Saw melaksanakan mi’raj ke langit, malaikat Jibril atas perintah Allah Swt, meningkatkan (jalaab) iman Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw  :
فُرِجَ عَنْ سَقْفِ بَيْتِي فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah) jibril menuangkannya kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) jibril menutupnya kembali.
Perbuatan Jibril As “menuangkan”  iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah Saw, dapat dikatakan perbuatan Jalllab, yang secara lahiriyah dilakukan oleh mahluk (Jibril As).  
e.        Jalaabnya ayat-ayat al-Qur’an.
Firman Allah Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya mereka berserah diri.  
Secara lahirinya, ayat-ayat Allah memiliki kemampuan jallabul iman (meningkat iman), namun secara hakiki yang meningkatkan iman, hanyalah Allah Swt semata.
f.         Setan/ Iblis dapat menghilangkan (sallab) iman
Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Ayat ini jika salah memahaminya, akan menyimpulkan bahwa pencabut iman bagi orang berkawan dengan iblis, adalah iblis dan bukan Allah Swt. Namun secara hakiki, pencabut dan pemberi iman, hanyalah Allah Swt semata.


g.        Sallab Jallab Rasulullah Saw.
Sahabat Dzul Khuwairitsah at-Tamimi memiliki keturunan yang merugikan Islam, setelah menyakiti hati Rasulullah Saw serta mendapat efek dari sallab jallab.
Sepulang dari perang thaif dan hunain, kaum muslimin mendapat ghanimah yang banyak . Rasulullah Saw membaginya kepada para sahabat. Masing-masing mendapatkan sesuai kadar pengabdian dan jasa yang mereka berikan. Namun dalam pandangan al-Khuwairitsah, terdapat keputusan kurang adil, yakni kepada Abu Sufan yang baru masuk Islam, mandapatkan bagian lebih besar bila dibandingkan  bagian Abu Bakar dan Umar, yang notabene masuknya Islam lebih dahulu. Kepada Rasulullah Saw al-Khuwasirah berkata : Wahai Muhammad, berbuat adillah kamu. Beliau Saw menjawab : Wahai, khuwairitsah : Mana mungkin manusia akan berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil.
Umar bin Khatthab ketika melihat kejadian ini, berdiri serta berkata : Wahai Rasulullah Saw, biar kupenggal leher orang itu. Beliau Saw bersabda :  Biarkan orang itu.
Mendengan ucapan Umar, Dzul Khuwasirah pergi meninggalkan ruang persidangan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah yang menembus binatang buruan. Mereka memerang orang Islam serta membiarkan kaum penyembah berhala. Jika aku menemui mereka niscaya kepenggal lehernya, seperti halnya kauj Ad (HR. Muslim). [181]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga, Rasulullah Saw bersabda :  Mereka itu sejelek-jelek makhluk, bahkan sejelek-jelek binatang. Mereka tidak termasuk golongan-Ku, dan Aku tidak termasuk golongan mereka.
Lahirnya keturunan buruk dari Dzul Khuwaisirah, secara hakiki disebabkan dari sallab jallabnya Allah Swt semata, yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw.
h.        Sallab Jallab para Waliyullah Ra :
Sebelum Wali Songo memperjuangkan Islam di Indonesia, masarakat tidak memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Dan setelah mereka berjuang di Indonesia dan khususnya tanah Jawa, masarakat hatinya memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Iman masarakat dapat dikatakan sebagai Jallab dari para waliyullah tersebut.
Hadis riwayat Thabrani, Rasulullah Saw bersabda :
لاَيَزَالُ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ يَدْفَعُ اللهُ بِهِمْ عَنْ أَهْلِ الأَرْضِ يُقَالُ لَهُمْ الأَبْدَالُ, إِنَّهُمْ لَمْ يُدْرِكُوْهَا بِصَلاَةٍ وَلاَ بِصَوْمٍ وَلاَ بِصَدَقَةٍ, قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ فَبِمَ أَدْرَكُوْهَا ؟. قَالَ : بِالسَخَاءِ وَالنَصِيْحَةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ.
 Tidak sepi ….
Syeh Sya,rani menjelaskan bahwa Ibnu Makhalla  salah satu diantara beberapa al-Ghauts Ra yang buta huruf. Diantara fatwa Syeh Ibnu Makhala  :
لِلْوَلِيِّ نُورَانِ نٌُورُ عَطْفٍ وَرَحْمَةٍ يَجْذِبُ بِهِ أَهْلَ العِنَايَةِ وَنُورُ قَبْضٍ وَعِزَّةٍ وَقَهْرٍ يَدْفَعُ بِهِ أَهْلَ البُعْدِ وَالغَوَايَةِ
Setiap Wali memiliki  dua cahaya batin : (1) nur yang bersifat menarik dan kasih, dengan nur ini tertariklah orang-orang yang mendapat pertolongan (Allah wa Rasulihi Saw), (2) nur yang bersifat genggaman, peninggian dan pemaksaan, dimana dengan nur wali  ini tertolaklah orang-orang yang yang jauh dan tersesat (dari Allah wa Rasulihi Saw).[182]

Al-Ghautts Radan para waliyullah menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani  dan Abu Nuaim dari ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
 Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [183]
Demikian pula dalam keyakinan setiap pengamal tarekat (apapun jenisnya), misalnya tarekat “Qadiriyah” meyakini Syeh Abdul Qadir memiliki karomah Sallaab dan Jallab. Sebagaimana yang disamapiakan oleh Syeh Abdul Qadir berkata  :
 أَنَاَ سَلاَّبُ الاَحْواَلِ
Aku adalah pencabut kondisi batiniyah seseorang.
(Kitab Lujain ad-Daani, bab “fatwa dan karamah”).
Dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menerangkan : Syeh Ibnu as-Saqaa, menjadi murtad setelah menyakiti hati dan suul adab kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadzani Ra (guru al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul al-Jailani Ra).

i.             Sallab Jallab para Ulama.
Setiap daerah yang ditempati oleh seorang ulama, sudah tentu iman dan ketekunan ibadah masarakat akan meningkat. Ini dapat dikatakan sebagai karomah Jallab yang dimiliki oleh setiap ulama.
Demikian uraian dalam makalah ini. Dan makalah inipun kami akhiri. Semoga dapat menambah motifasi yang positif kepada kita semua dalam berkhidmah kepada Perjuangan Wahidiyah, dan khususunya kepada Beliau Kenjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur, sebagai Guru Ruhani kita semua.


Al-Fatihah                                                    x  1
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah               x  3
Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts               x  7
Al-Fatihah                                                    x  1




[1].     Kitab Jawahirul Bukhari, nomer hadis : 386.
[2].     kItab Jami’ as-Shagir juz I, pada bab “alif”.
[3].     Dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim-nya Imam Nawawi (kitab Zakat dalam bab Qismah) dijelaskan pada Zaman Rasulullah Saw, terdapat orang-orang yang tidak puas dengan keputusan Allah Swt, yang disampikan oleh rasul-Nya. Diantara mereka adalah Dzul Khuwaisirah yang berani mangatakan Rasulullah Saw tidak adil. Dari keturunan Dzul Khuwaishirah ini terdapat seseorang  yang bernama Abdur Rahman bin Muljam al-Ghafiqi yang membunuh Sayyidina Ali KW. Ibnu Muljam secara lahiriyah, hapal al-Qur’an, dahinya tampak hitam karena setiap malam 300 rakaat shalat sunnah, setiap hari hampir berpuasa, sarungnya diatas tumit dan dibawah lutut. (Lihat juga dalam kata pengantar KH. Said Agil Siraj (ketua PB NU tahun 2012 M) dalam buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syeh Idahram, terbitan Pustaka Pesantren Yogyakarta).
[4].     Kitab  Jami’ as-Shaghir juz I, pada bab “alif”.
[5].     Dari sahabat Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud  juz IV  : a.   nomer hadis  : 4765.  b.   nemer hadis :  4757.   c.  nomer hadis  : 4756
[6].     Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syahh al-Qusthalani-nya Syeh Ammarah, pada bab muqaddimah.   
[7].     Ibid,  pada bab “fadlilah ahlul hadits”.
[8].     Lebih jelasnya tentang makna ittihadKitab Taqribul Ushul-nya Syeh Ahmad Zaini Dahlan.
[9].     Selain hal tersebut, Imam Suyuthi juga menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw. 
[10].    Kitab Dalilul Falihin-nya Syeh Ibnu Alan al-Aziziy, jilid I dalam bab      
[11].    Dan untuk lebih jelasnya lihat dalam kitab Dalilul Falihin pada juz I bab …….. dijelaskan : Ketahuilah bahwa sabda Nabi Saw وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ : setiap yang bid’ah itu sesat, adalah kata umum yang dimaksudkan untuk makna khusus. Dan karenanya, bid’ah terbagi kedalam 5 hukum dalam Islam. Pertama, bid’ah yang wajib, seperti menulis ilmu yang membawa kemudahan dalam memahami al-Qur’an dan hadis. Kedua, bid’ah yang haram, seperti madzhabnya orang-orang yang tidak memahami difinisi bid’ah sebagaimana difinisi para sahabat (ulama ahlus sunnah wal jama’ah). Diantara paham bid’ah yang haram diikuti, antara lain paham yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw secara ruhani sudah tidak berfungsi lagi dll). Ketiga, bid’ah yang sunnah, adalah segala kebaikan meskipun tidak ada pada masa awal Islam, seperti mendirikan majlis ta’lim/ pengajian/ dzikir dan tempat-tempat pendidikan/ madrasah serta pembahasan dalam ilmu tasawuf “
            Dan, yang aneh, mereka tidak setuju dengan pembagian bid’ah kedalam 5 bagian, tetapi mereka juga membagi bid’ah kedalam 2 bagian, yakini bid’ah dalam agama yang dilarang, dan bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan, padahal jika mengambil makna asli teks sebagaimana yang mereka jadikan dasar kita menyerang paham 5 jenis bid’ah. Dan ini menunjukkan ketidakadilan mereka dalam mengambil kaidah hokum Islam. Mereka membenarkan hanya pendapat sendiri (meskipun secara bahasa keluar dari teks hadis) dengan tanpa menghargai tafsiran orang lain. Dan jika mereka konsisten makna yang dipeganginya, maka tidak mungkin memberikan makna : كُلَّ بِدْعَةٍ  : dengan arti setiap bid’ah adalah sesat. Dan makna lahiriyah teks hadis ini, menerangkan : baik bid’ah tentang duniawiyah maupun diniyah (agama), semuanya adalah sesat.  Dan, semoga Allah Swt melindungi serta menjauhkan kita dari sifat buruk seperti yang mereka lakukan, menodai kaidah ilmu dan agama.
[12].    Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah. Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (Lihat kitab Jalaul Afham, dalam bahasan sanad hadis diatas).
dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam kitabnya  al-Lailil Masnunah,  6. An-Nabhani dalam kitab 5.            Hadis riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak,  2. Imam Baihaqi dalam  Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani Syawahid Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[13].    Hadis riwayat ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus (Lihat juga dalam buku “Keagungan Rasulullah Saw”)
[14].    Kitab Jawahirul Bukhari-nya Mushthafa Muhammad Amarah, pada nomer hadis : 659.
[15].      Lihat Rasulullah Saw bersabda    :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبََّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْنَ Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia. 
Kitab Jawaahir al-Bukhaari-nya Mushthafa Muhammad ‘Ammarah (penerbit Muhammad Ahmad Nabhan, Surabaya, tt, hlm : 22 – 23, nomer hadis : 11. Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab Fathul Bari-nya Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ulasan hadis diatas.
[16].    Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.  
[17]    Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I / 442.
[18].    Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[19].    Lihat buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (buku ini berisi kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah an-nahdliyah), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item hasil keputusan mu’tamar ketujuh di ponpes “Futuhiyah” Mranggen Demak Jawa tengah, pada bahasan ke 161 dan 162, terbitan “Khalista “Surabaya
Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama yang telah masyhur dalam kalangan kaum sufi.  
[20].    Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah tertulis dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar (yang ditulis oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya). Hingga tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya). Berlainan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan bahkan memungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[21].    Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا           فَإِنِّـي  وَحَـقُّ اللهِ  إِيَّاكَ  أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ    تُقًى          وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
            Disini yang perlu mendapat perhatian, teks syair Imam Syafii tersebut diatas, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
            Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan dipalsukan.
[22].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani dalam pasal.
[23].    Lihat kitab Afdlalus Shalawat, Syeh Yusuf an-Nabhaani Ra (w. 1933 M), dalam pasal 4. Sejalan dengan Syeh an-Nabhani Ra, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah pada sanad talqin menjelaskan :
[24].    Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada  juz II dalam bab “wawu”.
[25].      HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada  juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[26].    Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[27].    Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[28].    . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[29].    HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[30].    Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[31].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[32].    Kitab Thabaqaat al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala”. 
[33].    Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam sunnah Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[34].    Ibid. Dalam  bab “sanadul qaum”,  Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Dan pula – masih keterangan Syeh Sya’rani -, Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya antara dirinya dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[35].    Diantara tanda benar dan sahnya suatu tarekatantara dapat membawa pengamalnya dekat dengan sedekat mungkin  kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat tersebut dinilan batal. Lihat dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah –nya al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[36].    Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau  kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[37].    HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Thabrani dan Baihaqi.
[38].    HR. Bukhari, Ahmad dan Baihaqi.
[39].      Dalam salah fatwa amanatnya, Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan 4 (empat) nafsu manusia. PertamaBAHIMIYAH (binatang ternak). Manusia yang jiwanya dikuasai nafsu ini, yang dicari dalam hidup hanya kepuasan perut dan kelamin. Mereka tidak mau mengenal Tuhan dan perintahnya. KeduaSABU’IYAH (binatang buas). Jika jiwa manusia dikuasai nafsu ini, kepuasannya mengalahkan orang lain. Ketiga, nafsu SYAITHANIYAH (setan/ iblis). Iri, ambisi, dengki, sombong dan ujub  muncul dari nafsu ini. KeempatRUBUBIYAH (ke-Tuhan-an). Rububiyah merupakan hak Tuhan. Misalnya; merasa hidup, mendengar, melihat, alim, berkuasa dan lain sebagainya. Padahal hanya Allah Swt Yang Maha Hidup, Mendengar, Melihat, Kuasa dan sifat-sifat baik lainnya.   
[40].    Dalam kitab as-Syifa’ bi Ta’rifil Huquuqil Mushthafa Saw-nya al-Hafidz (gelar tertinggi dalam ilmu hadis) Syeh Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), jilid I, bab I pada pasal 1, diterangkan :
قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَالَ أَبُو جَهْلٍ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّا لاَنُكَذِّبُكَ, وَلَكِنْ نُكَذِّبُ مِمَّا جِئْتَ بِهِ.
     Sesungguhnya kami tidak mendustakan kamu (Muhammad). Akan tetapi kami mendustakan itu, mengapa kamu yang mendatangkan hal itu.
[41].    Keterangan yang semakna terdapat dalam :  Qs. Az-Zumar : 49,  al-Isra’: 67 + 83 dan an-Nahl : 53-54.
[42].    Makna ayat diatas lebih ditegaskan lagi oleh Qs. al-Anfal : 17, yang menerangkan bahwa kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata : وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي :  Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dengan jelas ayat ini menerangkan kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata.
Dengan demikian, meskipun tidak bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, seseorang tetap dikatakan MUSYRIK (menyekutukan Allah Swt dengan Rasulullah Saw) selama tidak dapat memahami kekuatan Rasulullah Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Dan, meskipun bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, tetap dinamakan BERTAUHID selama memahami kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah tempat tajalli (penampakkan sifat) Allah Swt yang sempurna.
Jadi, hakikat bertawassul atau beristighatsah, adalah untuk mendekati “Nur Ilahiyah”-nya Allah Swt  yang ada pada pribadi Rasulullah Saw atau pribadi al-Ghauts Ra.
[43].    Beliua Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra dalam salah satu fatwa amanatnya menjelaskan : “Wahidiyah cocok dengan al-Qur’an dan hadis serta sesuai dengan sain dan tehnologi”.
[44].    HR. Imam Ahmad (dalam Musnad), Thabrani (dalam al-Ausath), Baihaqi (dalam Syu’bul Iman) dan Ibnu Adi (dalam al-Kamil) Kitab Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif”.
[45].    HR. Imam Ahmad dari Umar Ibn al-Khatthab dalam dalam Jami’ as-Shaghir, juz I, bab “alif”. Imam Suythi mengatakan hadis ini berderajat “shahih”.
[46].    Dalam Qs. at-Taubah : 54, dijelaskan bahwa malas mendirikan shalat termasuk sifat orang kafir.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ 
 Sesungguhnya mereka adalah orang kafir kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa.  
[47].   Riya’ adalah berbuat kebaikan bukan karena Allah Swt, tetapi untuk mencari pujian dari manusia. Qs. al-Ma’uun  :  فَوَيلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. الذِيْنَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الماعُونَ   :  Neraka wail diperuntukkan bagi orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Dan mereka yang berbuat riya’. Dan mereka yang enggan menolong dengan barang yang dibutuhkan masyarakat.
[48].    Para ulama mengatakan : menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat secara lahir (sebagaimana dalam ilmu fiqih) dan secara batin (menghayati dan megamalkan makna ucapan dan perbuatan dalam shalat). Menegakkan shalat secara semestinya dapat menjauhkan dari prilaku mungkar.
إنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَامَسَّهُ الشَرُّ جَزُوعًا وَإِذَامَسَّهُ الخَيْرُ مَنُوعًا إِلاَّالمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُون.   
  Sungguh manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Ketika mendapat kesusahan ia berkeluh kesah. Dan ketika mendapat kenikmatan ia amat kikir. Kecuali orang yang menegakkan shalat. Yaitu, orang-orang yang melaksanakan shalat secara terus-terus (Qs. Al-Ma’arij : 19–27).
[49].    HR. Dailami (kitab ad-Durar al-Muntatsirah-nya Imam Suyuthi Ra), kitab Muhtashar Ihya Ulumudin-nya al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan khusyu”.
[50].     Tafsir Ibnu Katsir dalam ayat 122 surat  al-An’am.
[51].    Hadis riwayat Hakim dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra. (Kitab Minhaj al-Abidiin-nya Imam al-Ghazali dalam “muqaddimah”.  Dan dapat dilihat dalam kitab tafsir Al-Qurthubi surat Az-zumar : 22 dengan jalur dari sahabat Ibnu Mas’ud. Bahkan dalam tafsir ini, juga diterangkan, bahwa yang  menerima “nur ilahiyah” secara sempurna hanyalah  Hamba Allah Kamilul Iman  (al-Ghauts- pen).
[52]     Kitab Thabaqat al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahab Sya’rani. Atau kitab Tahrirud Durar-nya KH.Mishbah Zain Mushthafa Bangilan Tuban Jawa timur, dalam bab “Syeh Ali al-Khawash”. Atau kitab Kimya’ as-Sa’dah-nya al-Ghazali (kitab ini telah diterjemah oleh Gus Mus, Rembang Jawa Tengah. Tokoh NU ini semestinya telah menjelaskan : bahwa tanpa melalui Rasulullah Saw, perjalanan menuju Allah Swt akan mengalami kegagalan.

Sedangkan akhlak para waliyullah Ra didapatkan dari pancaran Rasulullah Saw. Seseorang, setelah melalui latihan (mujahadah) serta menaiki beberapa tahapan jiwa, barulah ia mendapatkan anugrah akh[53].            Kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah Saw didapatkan secara langsung dari Allah Swt. lak yang karimah. Diantara tahapan jiwa tersebut; pertamatakhalli : pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela (syirik, ujub, riya’ dan linnya). Kedua, tahalli : pengisian jiwa dengan akhlak yang terpuji (taqwa, ihsan, sabar, ridla, syukur dan lainnya). Baru kemudian memperoleh tajalli : Allah Swt menampakkan diri serta menyinarkan akhlak-Nya.
[54].   Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak karamahnya.
[55].   Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[56].    HR. Ibnu Abd Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[57].    Hadis riwayat Dailami dari sahabat Jabir Ra, kitab Siraj al-Munir Syarh al-jami’ as-Shaghir nya Syeh Ali Ibn Ahmad al-Azizi (Beriut “Dar al-fikri”, tt.)  juz III, hlm : 326, dinukil dari kitab “Musnad al-Firdaus” nya Imam ad-Dailami.  Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “afat ilmu”.
[58].    Dari sahabat Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud  juz IV  : a.   nomer hadis  : 4765.  b.   nemer hadis :  4757.   c.  nomer hadis  : 4756
[59].  Inabaah (sebagai kata jadian dari kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif).  Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti = perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
                إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ  
Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[60].    Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I dalam bab “man yaqbalu khabaruhu” pada pasal keempat. Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qusthalani dalam “muqaddimah”. Kitab Manhal al-Lathif-nya Syeh as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki pada ulasan “fadl-lu ulum al-hadits”
[61].    Kitab Jawahir al-Bukhari, nomer hadis : 464
[62].    HR. Imam.Bukhari dalam kitab Jawahir al-Bukhrai ala Syarhil Qusthalani”.
[63].    Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[64].    Dalam kitab Muhtashar Ihya’-nya Imam Ghazali, pada bab I, (tentang Ilmu) pasal ulasan “afat ilmu”Imam Hasan al-Bashri berkata  :  عُُقُوبَةُ العُلمَاءِ مَوْتُ القَلْبِ وَمَوْتُ القَلْبِ طَلَبُ الدُنْيَا بِعَمَلِ الاخِرَةِ  Siksaan bagi para ulama itu matinya hati. Matinya hati itu mencari dunia dengan amalan akhirat.
[65].    Sunan ad-Darimiy,  juz I/ 360.
[66].    Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74. kitab Lubb al-Lubab Fii Tahrir al-Insan-nya  imam Suyuthi).
[67].    Lihat kitab Siraj at-Thalibin nya Syeh Dahlan al-Kadiri, (penerbit “dar al-fifri” Beirut Libanon, tt. Kemudian disebut Siraj at-Thalibin), juz I, hlm  : 74 
[68].    Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka ia berdoa kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat melanjutkan dan mewarisi perjuangan. 
[69].    Untuk lebih jelasnya dalam memahami makna hadis ini lihat  buku : Tafsir  Ayat-Ayat  Cahaya  bagian kedua (penerbit Pustaka Progressif, tahun 1998) hlm 33. Atau kitab Misykatul Anwar-nya Imam al-Ghazaliy, dalam Majmu’ah Rasail lil-Ghazali. Atau buku Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf-nya Dr. Mir.Valiuddin – ilmuawan dan sufi dari Pakistan , terbitan Pustaka Hidayah, dalam bab I dan  bab II. Atau kitab ‘Awarif al-Ma’arif-nya Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra dalam bab 62. Iqadul  
[70].    Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “adabul muta’allim”
[71].    Syeh Jalaluddun as-Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, menjelaskan  kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti dengan kata  أَعْطَيْنَا Kami berikan. Syeh Ahmad as-Shawi dalam b tafsir Shawi juz III, hlm 313, menjelaskan; وَوَجْهُ تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ نَصبٍ وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب حَاصِلٌ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ alasan penggunaan pewarisan disini adalah perolehannya tanpa susah payah. Begitu pula, pewarisan al-Qur’an kepada penerimanya, tanpa susah payah.
[72].    Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, pada surat an-Naml ayat 16, menjelaskan makna pewarisan, dengan sabda Rasulullah Saw  :  العُلمَاء وَرَثة الانْبيَاء   : ulama itu pewaris Nabi.
10 .   Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Mu’jam al-Kabiir
18 Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74
[73].    Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[74].    Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra dalam kitab Jami’al-Ushul, menjelaskan :
وَأَمَّا عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً لِلْهِدَايَةِ
 Ilmu mukasyafah (tersingkapnya hati hingga dapat sadar kepada Allah Swt) tidak dapat dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Da hanya dapat dihasilkan dengan bermujahadah (perjuangan batin sungguh-sungguh), yang mana Allah Swt telah menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
13.    Kitab dari tulisan asli dari Syeh Nuruddin terseimpan pada mosium kerajaan Belanda di Den Hak. Sedangkan yang ada di Indonesia merupakan disertasi yang ditulis oleh Tujimah untuk meraih gelar doctoral, dan yang diterbitkan oleh “Penerbitan Universitas Djakarta”  tahun 15 Maret 1960).
Syeh Nuruddin, merupakan satu dari beberapa ulama yang memberantas paham wahdatul wujud..  
[75].       Lihat Majmu’ah an-Nafahah ar-Rabbaniyah ala Rasail Mirghaniyah, penerbit “al-Haramain” Singapura. 

[76].    Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan dengan makna al-Ghauts Ra  :

a.           Khalifah/  خَلِيْفَةً  =:  Firman Allah   قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الاَرْضِ خَلِيْفَةً Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/ 30.

Yang dimaksud khalifah, Imam Shawi dalam kitab tafsir Shawi menerangkan :

    وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم   

Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani adalah Nabi Muhammad Saw.

Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ بِالعَدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى    :  Aku telah menjadikan engkau (Daud) sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.

b.    Ulil Amri,  Qs. al-Maidah/ 35   أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ   Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.

c.     Imam /إِمَام  (pimpinan) Qs. al-Furqan/ 74 :    وَاحْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا :  Dan jadikanlah kami sebagai imam orang yang bertaqwa. Dan Qs. al-baqarah : 124).

 قَالَ اِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَالِمِيْن  : Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ia menjawab : dan dari keturunanku. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang yang dlalim.

[77].    Sedangkan  dalam hadis kata  yang sepadan arti dengan makna al-Ghauts, antara lain   :

a.     Kata  khair / خَيْر  :, Rasulullah Saw bersabda   : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ  :   Sebaik-baiknya para tabi’in adalah lelaki yang disebut Uwais (HR. Imam Muslim, dari Umar Ibn Khatthab Ra).  

b.      Kata Aimmah  الائمةRasulullah Saw bersabda  إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ  Sesungguhnya kamu semua, wahai sekelompok manusia, terdapat imam yang senantiasa mengikuti kamu semua(HR. Imam Malik/ kitab al-Muwattha’).

c.      Kata Wahid/ وَاحِد , Rasulullah Saw bersabda :

إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ - قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ ......, , فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
   (Lengkapnya hadis ini beserta terjemahnya, dapat dilihat dalam makalah ini juga dalam ulasan tentang keberadaan “al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani” pada makalah ini juga).                 
d.     Kata Malik مَلِك  :    زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي  : Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam Bukhari).
e.    Kata “maqaam”. Kata ini merupakan kata jadian dari aqaama (menduduki). Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar as-Shiddiq Ra :  
 إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رَزَقَهُ اللهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   :  Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatannya sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).
[78].   Kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[79].    Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[80].    Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’nya  Syeh kamasykhanawi dalam bab muqaddimah.
[81].   Lihat kitab Jami’ karamah al-Auliya’  nya Syeh an-Nabhani  juz I, dalam bab “
[82].    Kitab Taqriib al-Ushuul, karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[83].    Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[84].    Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3 pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
[85].    Hadis tersebut tertulis dalam :
1.      Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.      kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.      Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[86].    Kitab Syamail al-Muhammadiyah-nya Imam Tirmidzi dalam bab ke 55.
[87].    Hadis masyhur yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[88]     Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan, nh : 523),  Nasai (Amalul Yaum wal Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384).  Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[89].    Kitab Jami’ as-Shagir  juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain (Jala’ al-Afha dalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ لَكُمْ Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Hurairah Ra).
[90].    Kitab Khazinatul Asraar, Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[91].    Kitab  kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[92].    Ibid, riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahihsunan dan musnad).
[93].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[94].    Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
       فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
          Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).           
[95].    Hadis riwayat Abu Nuaim dari sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[96].    Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[97].    Kitab Lubab an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.       
[98].    Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993,  jilid I hlm 16-17.
[99].    Kitab Jalaul Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[100].  Ibid, Jalaul Afham.
[101].  Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes Lirboyo Kota Kediri.
[102].  Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[103].  Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah. Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II, dalam bahasan 69. Atau kitab  al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[104].  Kitab al-Insan al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[105].  Kitab Saadatud Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman  422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi Ra, juz II dalam bab tasawuf.
[106].  Syeh Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam suatu fatwa amanat-Nya menjelaskan : Seorang Waliyullah belum tentu al-Arif, tetapi  al-Arif  itu pasti Waliyullah.
[107].  Lihat kitab  Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani, percetakan  Darul Fikri, Bairut Libanon, tahun 1414 H/  1993 M, juz I halaman 23.
[108]. Didalam kitab Kifayah al-Atqiya hlmn 9, diterangkan bahwa makna lillah dan billah adalah terpadunya antara syari’ah dan hakikahفَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ :  Syariah adalah wujudnya perbuatan yang disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa  wujudnya semua perbuatan lahir dan batin mahluk itu, atas titah Allah .
Imam Sya’rani dalam kitabnya  ‘al-Yawaqit wal Jawahir,  juz  I  halaman  26  juga menjelaskan :
  اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ عَيْنُ الحَقِيْقَةِ, اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى, فَالعُلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَلَمْ يَجِدُوهُ فِي دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ  فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ       
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’ah adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir.  Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah  Hakimuz  Zaman (al-Ghauts Ra).
[109]. Radaksi kalimat ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70.
[110]. Rasulullah Saw bersabda :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.  Lihat kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11, kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
[111]. Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab II aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[112].  Kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa al-khusus”.
[113].  Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[114].  Lihat juga kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz  II/ 80.
[115].   HR. Muslim (Shahih dalam bab‘Iyadatul Maridl).
[116].  Firman Allah yang sepadan arti juga tedapat dalam Qs : 2/129 dan 151, Qs : 62/2
[117].    Hadis riwayat Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi (Syamaail al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi, nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir), Muslim (Shahim Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham,  bab asma Nabi Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab  Dalil al-Falihin  bab “asma Rasulullah”, dan  kitab Siraj al-Munir  II/18.
[118].     Dalam kitab Lubab an-Nuqul-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang merasa hatinya sudah bersih, tanpa melalui Rasulullah Saw .
[119].     Hadis riwayat ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus.  
[120].     Hadis riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak,  2. Imam Baihaqi dalam  Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam kitabnya  al-Lailil Masnunah,  6. An-Nabhani dalam kitab Syawahid Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[121].     Hadis riwayat Hakim dan Bazzar dari sahabat Anas, kitab Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shaghiir-nya Syeh ‘Ali Ibn Ahmad al-Azizi (darul fikri, Beirut-Libanon : I/ 517).
[122].     Dalam kitab Siraj al-Munirr, juz I, halaman 517.
[123].     Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Al-Kabiir, dalam kitab Siraj al-Munir, juz I, halaman 517, dan dalam juz II/ 61, memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut  :
    هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah perantara antara kamu semua dan antara Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris-Nya.
[124].  Kitab Tanwir al-Qulub nya Syeh Muhammad Amin al-Kurdi  (Beirut, “dar al-fikri” cetakan tahun 1414 H) halaman : 410.
[125].  Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[126].  Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”
[127].  Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah juz II dalam “kitab adabul muridin” pasal II menjelaskan :
       مَحْمُولُ القُدَرِ كُرَّةُ المَشِيْئَةِ, منْبَعُ العُلُومِ وَالحِكَمِ, بَيْتُ الأَمْنِ وَالفَوْزِ, كَهْفُ الأَوْلِيَاءِ وَالأبْدَالِ, مَنْظَرُ الرَبِّ 
(Sufi Sempurna) adalah tempat menyimpan qadar, dan bola (bergulirnya) kehendak, memancarnya ilmu dan hikmah, rumah kemanan dan kemulyaan, guanya para wali dan abdal, dan tempat pancaran cahya cinta Tuhan.
[128].  HR. Abu Nuaim al-Isfahani dalkam kitab al-Hilyah, dan Imam Abul Yaman Ibn Asakir dalam kitab Tarikh Madinah Damsyiq  juz I pada bab “maa ja,a anna bis-syaam yakuunu al-abdaal” dari sahabat Ibnu Mas’ud
[129].  Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,  Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra), Jami’ul Ushul fil Auliya’  (Syeh Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[130].  Lihat kitab Misykatul Anwar-nya al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra, dalam pasal kedua. Atau buku Insan Kamil Dalam Islam-nya M. Dawam Raharjo. Atau buku Manusia sempurna, Pandangan Islan Tentang Hakikat Manusia, Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera tahun 2001, hal 9–17. Dan buku Manusia Citra Ilahi Oleh Dr. Yusnaril Ali, penerbit Paramadina Jakarta, tahun 1997 halaman 111–128. Dan kitab Kimya’us  Sa’adah nya al-Ghazaliy. Dan juga dalam buku Tasawuf antara agama dan filsatfat, Dr Ibrahim Hilal. Lihat juga dalam kitab Jami’ul Ushul Fil ‘Auliya’ ,  hlm  110 – 111.
[131].  Lihat Majmuah Rasail lil Ghazali (cet. I/ tahun 1416. Darul Fikri, Bairut, Libanuon, halaman 283).
[132].  Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[133].  kitab Insanul Kamil juz II bab 45, dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bab IX  tentang “ru’yatun nabi”, halaman 429.
[134] . Kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani, percetakan “Dar al-Kutuub al-Ilmiyah” Beirut – Libanon, cetakan ke 3, tahun 1404 H, bab “qaf”, hlm : 177 – 178.
[135].    Karya Muhammad Ibn Zain Ibn Shamit, perc. Dar al- Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Bairut, yang dinukil oleh Idrus Abdullah al-Kaf, dalam buku “Bisikan Bisikan Ilahi”, pada bab I, terbitan Pustaka Hidayah Bandung
[136].  Syeh Muhammad Wafa, adalah diantara 4 wali al-Ghauts yang tidak dapat membaca dan menulis.
[137].  Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul qulub nya Syeh Amin Al Kurdi, percetakan Bairut, halaman  36.
[138].  Kitab  Bughiyatul  Mustarsyidin, oleh Sayyid Abdur Rahman bin Muhammad Al-Hadlramiy halaman 6 dan  299. Lihat  buku Transendensi Ilahi, terjemahan dari maqhashidul asna Imam al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif , Surabaya tahun 1999 M, hlm  9 – 19.  Penjelasan tentang seorang Mujaddid dan sekaligus al-Ghauts Ra, dapat dilihat dalam buku “Kontemplasi Dan Dzikir Dalam Tasawuf”-nya Dr. Mir Valiuddin, atau buku “Bisikan-Bisikan Ilahi” tulisan Dr. Al-Idrus Al-Kaf.
[139]. Kitab Jami’ al-Ushul Auliya’ nya Syeh Kamasykhanawi, hlm 4, kitab at-Ta’rifat nya Syeh Ali al-Jurjani, bab “qaf”, kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh Nabhani dalam bab silsilah tarekat Syadzaliyah).
[140].  Sebelum mencapai maqam Abdul Warits ini, setiap hamba Allah Swt yang akan dipilih menjabat wali al-Ghauts, Beliau Ra memasuki maqam Abdul Baqi (hambanya Allah Dzat Yang Abadi).  Dalam ilmu tasawuf, setiap sufi akan memasuki maqam dan akan mendapat hal dari Allah Swt.
[141].  Imam al-Ghazali memandang Fana’ dan Ma’rifat  sebagai “maqam”, sedangkan Imam al-Qusyairi memandang sebagai “hal”.
[142].       Kitab Khazinah aAsraar-nya Syeh Ahmad Haqqi an-Naziliy,  dalam bab
[143].  Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[144].  Kitab Tanwir al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdi dalam  juz  II pada bab tasawuf .
[145].     Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[146].     Banyak para ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara lain:
a.      Kitab   al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra.
b.      Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
c.       Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.      Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
e.      Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya Syeh 
[147].     Kitab al-Ghunyah, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[148].  Kitab Insan al-Kamil, juz II/75 bab “insan al-kamil”.
[149].  Adab murid kepada Guru Kamil Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif  nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab  “Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[150].  Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[151].  HR. Bukhari (Shahih, nh : 6530, dalam kitab “al-fitan”), Muslim (Shahih, nh : dari Ibnu Abbas
[152].   Kitab Mafahim nya  Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[153].   Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, dalam hadis nomer  :  610.
            Dan dalam kitab ini pula, berkaitan karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w. 676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimah nida’ kepada waliyullah tersebut.
[154].  Imam Suyuthi,  Jami’ as-Shagir jilid I dalam bab “alif”.
[155].   Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh, Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[156].    HR. Muslim dan Bukhari, (kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09. Dan kitab Al Syifa  Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II, dalam bab tha’aturrassul).
[157].     HR. Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 990.                         
[158].     Ibid, dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 991.
[159].     Kitab as-Syifa’ dalam jilid I bab I pada pasal 1.
[160].     Kitab Thabaqatul Kubra-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra, juz II dalam bab “Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra”.
[161].     Buku Sufi Dari Zaman Ke zaman dalam bab “tasawuf falsafi”, tertulis keterangan bahwa Syeh Sahal at-Tustari ini adalh wali al-Ghauts pada zamannya.
[162].     Lihat kitab Syawahid al-Haq nya Syeh An-Nabhani, perct. Darul Fikri, Beirut Libanon, tahun 1403 H/ 1983 M, hlm : 221, atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Iam al-Qusyairi Rahlm :  47.
[163].       Para ulama berbeda pandangan tentang asal usul iblis. Sebagian mereka mengatakan; iblis dari kelompok JIN, dengan alasan, kata-kata (إِلاَّ إِبْلِيسُ / Illa iblis = kecuali iblis) dalam ayat tersebut sebagai istitsna’ munqathi’ (yang dikecualikan {iblis} tidak termasuk kelompok kalimat sebelumnya {malaikat}). Sedangkan mayoritas ulama (seperti al-Bughawi, al-Wahidiy, al-Qaadliy ‘Iyadl al-Yahshubi) mengatakan, iblis dari kelompok malaikat yang memiliki nama Azaaziil. (Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diceritakan dari Abdullah bn Abbas (sahabat Nabi Saw yang ahli dalam tafsir al-qur’an). Dan pula para ulama sepakat bahwa iblis awal mulanya sebagai penjaga surga dan pemimpin para malaikat, dengan alasan istitsna’ dalam kalimat tersebut sebagai istitsna’ muttashil. Yakni yang dikecualikan (iblis) termasuk kelompok kalimat sebelumnya (malaikat). Iblis juga memiliki beberapa nama panggilan, antara lain : al-‘Abid (dilangit pertama), az-Zaahid (dilangit kedua), al-‘Arif (dilangit ketiga), Waliyullah (dilangit keempat), at-Taqi/ orang taqwa kepada Allah (dilangit kelima), al-Khaazin (dilangit keenam), ‘Azaaziil (dilangit ketujuh) dan Iblis (dilauh mahfud).
                        (Lihat tafsir al-Futuuhaat al-Ilaahiyah-nya Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy, pada ulasan ayat 34 surat al-Baqarahatau fatwa dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Hadiitsiyah, dan Imam Shawi dalam kitabnya Tafsir Shawi fii Haasyiyah ala al-Jalalain, kitab tafsir Ibnu Katsir, atau buku Tafsir al-Mishbah-nya Prof. Dr. M. Qiraisy Syihab).
[164].     Sebagian ulama memberikan makna “kafir” yang diderikan oleh al-Qur’an  kepada iblis, bukan karena ingkar keberadaan Allah Swt, namun karena membangkang perintah-Nya, demikian yang diterangkan dalam kitab “Tafsir al-Mishbah”-nya Prof. Dr. Quraisyi Syihab. Pembangkangan dan  kedurhakaan ini dinilai amat berat karena dilakukan oleh hamba yang telah mengenal-Nya.        
[165].     Qs. al-Baqarah: 30 :  قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan memberikan jabatan khalifah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau serta mensucikan Engkau ?. Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang kalian tidak mengetahui. Allah Swt menjawab pertanyaan malaikat dengan Aku lebih mengetahui sesuatu yang tidak dapat kamu ketahui, menunjukkan bahwa “seseuatu” tersebut bersifat pasca rasio yang memahaminya tidak bisa melalui akal fikiran, akan tetapi melalui metode hidayah.
Dan dalam ayat yang lain, dijelaskan, setelah kalah dalam berdebat dengan Nabi Adam As, malaikat dapat memahami Nabi Adam As lebih layak menjadi khalifah. Hingga, mereka berkata :
 سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ  Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[166].  Dalam Qs. al-Baqarah : 31, dijelaskan setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu kepada Nabi Adam secara langsung (wahyu) tanpa melalui proses belajar. Allah Swt bersabda :  وَعَلَّمَ أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ قَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ  Dan (Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda secara keseluruhan. Kemudian mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan berfirman (kepada malaikat) : Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang kelompok yang benar. Dan kepada Allah Swt para malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ    Mereka berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Paduka ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan akhirnya para malaikat dapat menyadari keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam As, Allah Swt bersabda kepada Nabi Adam As :   قَالَ يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ  (Tuhan) bersabda : Wahai Adam, ceritakan (ajarkan) kepada mereka nama seluruh benda.
[167]. Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitabnya al-Ghunyah juz II bab “ma yajibu ‘ala al-mubtadi”), menjelaskan فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan.  
            Ulasan yang sama juga diberikan oleh Imam Shawi : لأَِنَّهُ صَارَ شَيْخُهُمْ وَمِنْ حَقِّ الشَيْخِ التَعْظِيْمُ وَالتَّوْقِيْرُ : Sesungguhnya Nabi Adam menjadi guru bagi mereka. Diantara hak guru adalah menerima penghormatan serta pengagungan.
[168].  Keterangan yang sepadan dengan ulasan Syeh Sulaiman al-Ajili tersebut, terdapat dalam buku tafsir AL-MISHBAH karya Prof. M. Quraisyi Syihab MA, pada ayat dan surat yang sama.          
[169].  Buku tafsir al-Mishbah (Penerbit Lentera Hati, cet. ke IV tahun Agustus 2005, pada halaman 153),  dalam ulasan ayat 34 surat al-Baqarah.
[170].  HR. Ahmad, dan Bukhari (dalam at-Taarikh), Abu Nuaim (dalam Dalail an-Nubuwwah dan al-Hilyah), Ibnu Abi Hatim (dalam Tafsir-nya), al-Haakim, Tirmidzi (dan ia mengatakan : ini hadis hasan dan lagi shahih), al-Haakim dan Ibnu Hibban dari Irbadl bin Sariyah (dalam Shahih-nya).
Yang perlu diperhatikan, diantara para ulama dalam menilai sebuah hadis – sebagaimana kesimpulan dari Dr. KH. Said Aqil Siraj MA (Ketua Umum PBNU tahun 2010 M - ) dan kader NU lainnya -, banyak yang masih beraroma politik (lihat buku Kiai Menggugat Mengadili Pemikiran Kang Said). Seperti tuduhan maudlu’ (lihat buku Ensiklopedi Islam jilid 4 pada bagian “N“, {buku milik negara}), yang dilakukan oleh Abul A’laa al-Afiifiy dan pengikutnya terhadap hadis yang berkaitan dengan keduhuluan Jiwa dan Nur Nabi Muhmmad Saw, bisa dinilai beraroma politik.   
[171].  Para nabi berjanji kepada Allah Swt, bila mana datang seorang rasul bernama Muhammad, mereka akan beriman dan menolongnya. Buku al-Qur’an Dan Terjemahnya, terbitan “al-Mujamma’ al-Malik Fahd lit-Thiba’ al-Mush-haf  as-Syarifah Medinah Munawwarah” Kerajaan Arab Saudi.
[172].  Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi, dalam juz I bab I pada pasal 7.
[173].  Kitab  kitab al-Anwar al-Muhammadiyah. Kitab as-Syifa’-nya al-Qadli Iyadl, juz I bab I dalam pasal ketujuh. Kitab al-Hawi lil Fatawi-Nya Imam Suyuthi, juz II pada bab “irsal al-nabi ilal malaikah”, diriwayatkan dari Aby Haatim as-Suddiy.
[174].  Kitab al-Haawi lil Fatawi-nya Imam Suyuthi, juz II pada bab “irsaal an-nabiy alal malaikah”
[175].  Dalam prinsip tasawuf terdapat istilah “maqam” dan “hal” (ahwal). Maqam adalah jenjang akhlakul karimah yang harus ditempuh oleh setiap salik dalam pendekatannya kepada Allah Swt. Misalnya, taubat, zuhud, taqwa, qana’ah, ridla, tawakkal, syukur dan lainnya. Jenjang akhlak ini dapat menjadi sempurna jika salik berada dalam bimbingan guru ruhani yang telah berpengalaman dalam permasalahan tersebut. Sedangkan hal (ahwal) adalah kondisi batin yang datangnya dari Allah Swt. Maqam dapat diupayakan oleh salik, sedangkan hal tidak dapat diusahakan, ia semata-mata anugrah Allah Swt kepada salik.
[176].  Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[177].  Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”
[178].       . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[179].  HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[180].  Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[181].      Ulasan dari Prof. Dr. KH. Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PB NU 2012) dalam memberikan pengantar  buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahhabi”, penerbit Pustaka Pesantren cet. XX tahun 2012) karya Syeh Idahram. Hadis diatas tertulis dalam Shahih Muslim pada kitab Zakat dan Qismah.   
[182].  Yang dimaksud “wali” disini adalah al-Ghauts Ra. Lihat  penjelasan sebelum dan sesudahnya dalam kitab Thabaqat juz I, pada halaman 188 – 201, percetakan “Darul Fikri”, Beirut – Libanon, tahun Nopember 1954 M.
[183].  Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.