Rabu, 15 Oktober 2014

MATERI DESKUSI KHADIM WAHIDIYAH PUSAT 21 Romadlon 1433 H 10 Agustus 2012 M

MATERI DESKUSI KHADIM WAHIDIYAH PUSAT
21 Romadlon 1433 H
 10 Agustus 2012 M

1.   Keberadaan Orang Tua

a.                 Orang tua jasmani.
Sebagaiaman kehendak Allah Swt, kecuali Nabi Adam As, Siti Hawa Ra dan Nabi Isa As, semua manusia, secara ragawi lahir kedunia melalui kedua orang tua (bapak dan ibu). Firman Allah Swt, Qs. an-Nahl (16)  : 78 :
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْئًا, وَجَعَلَ لَكُمُ السَمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
Allah Swt berfirman, Qs. Luqman  (31) : 14 :
وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ المَصِيْرُ.
Jasmani Nabi Adam As dari tanah, sedangkan ruhaninya dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam firman-Nya, Qs.
وووووووو
Demikian pula Bani Adam. Jasmani manusia berasala dari limpahan jasmani kedua orang tua (bapak ibu). Sedangkan  jiwa manusia bukan berasal dari orang tua jasmani, akan tetapi  berasal dari Allah Swt.  Allah Swt berfirman, Qs
وووووووو
Penciptaan ruhani manusia mendahului pencipataan jasmaninya. Allah Swt berfirman, Qs. Maryam (19) :  9 & 67 :
وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شًيْئًا. أَوَلاَ يَذْكُرُ الإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلَ وَلَمْ يَكُ شَيْئًا
HR. Imam , Rasulullah Saw bersabda : [1]
Semua jiwa dicipta 4000 tahun sebelum penciptaan jasmani.

Memahami keberadaan dan fungsi orang tua jasmani, sangat fital dan pokok dalam syariat Islam. Sebagaimana yang tersari dalam firman Allah Swt,

Sebagaimana kehendak Allah Swt, keterciptaan manusia, dalam dua kondisi. Kondisi pertama bersih dan putih. Kondisi watak paternalistik. Artinya,  jiwa dan prilakunya tergantung kepada watak dan prilaku yang ditanamkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak (dapat dibaca - belum memiliki pilihan). Jika, ia ditanami watak yang lurus, anak akan menjadi lurus prilaku dan jiwanya. Demkian pula, jika jiwanya ditanami watak atau  ilmu yang sesat, maka jwanya akan menjadi kotor dan prilakunya mencerminkan kesesatan.  Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ فَأَبَوَهُ يُهَوِّدَانِهِِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.

Ø Qs. Luqman  (31) : 14 – 15 :
وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ المَصِيْرُ. وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُنْيَا مَعْرُوْفًا, وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
b.                 Orang tua ruhani.
Demikian pula memahami keberadaan orang tua ruhani, merupakan  bagian terpenting dalam sunnah Rasulullah Saw.

Orang tua jasmani, kadang sekaligus sebagai orang tua ruhani

2.   Pengertian Guru.

Sebagaimana diketahui, untuk dapat bersyukur dan mengenal-Nya secara tepat dan sempurna, seseorang harus mengenal keberadaan orang tua jasmani dan orang tua ruhani.  Menurut al-Qur’an, guru hakiki adalah orang tua, baik orang tua jasmani maupun orang tua ruhani.
Makna kata “guru”, kadang disandarkan kepada seseorang. Dan terkadang disandarkan kesimpulan ilmu, pengalaman (hikmah), seperti kata pepatah “pengalaman adalah guru yang paling utama”.  Baik pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain atau kasus generasi sebelumnya (sejarah) generasi masa lalu dapat dijadikan guru untuk diambil hikmahnya oleh generasi sesudahnya. Dan terkadang disandarkan kepada isi buku. Mempelajari ilmu yang ditulis oleh seorang pakar dalam buku,  dan kemudian pembaca merasa berguru kepada penulisnya.
Dan dalam kamus bahasa jawa, mungkin dapat diambil sebagai ta’rif, karena menempatkan guru sebagai jabatan yang sakral. Dalam bahasa jawa, mengartikan kata guru dengan; guru merupakan kata yang terdiri dari 2 (dua) suku kata, gu dan ru, yang masing-masing meiliki arti yang sakaral.  “Gu” memberikan makna dapat digugu (dipercaya). Artinya, ucapan dan ilmu yang diajarkan merupakan kebenaran mutlak. Sedangkan “ru” memberikan makna; bahwa prilakunya dapat ditiru (diikuti) atau sirri doanya dapat mengantar murid mencapai hakikat kebenaran yang diajarkan dan diucapkan. Seseorang dapat diberi gelar “guru”, bila ucapannya benar dan sesuai dengan kebenaran (baik menurut norma, maupun {boleh dibaca- lebih-lebih} menurut kitab suci), serta prilakunya mencerminkan ilmu yang telah diajarkan (konsisten dengan ilmu dan norma, wira’i), dan pula pribadinya dapat mengantarkan murid untuk dapat memahami dan menghayati kebenaran yang diajarkannya. Jika tidak memiliki cirri-ciri yang demikian –masih menurut adat jawa -, meski mengajarkan ilmu, seseorang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai guru.
Program Perjuangan Wahidiyah adalah membawa manusia mencapai tujuan yang TAMAMA (sempurna) dalam segala bibang. Maka, bagi kita (pengamal dan khadim Wahidiyah) dalam mencari dan mengambil difinisi makna Guru, harus mengambil difinisi yang sempurna (TAMAMA) pula. Artinya, selain menerima semua difinisi jenis guru diatas, kita lebih mengarahkan kepada guru yang dapat membebaskan dari kemusyrikan dan kesesatan dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Karena hal inilah, tujuan kita diciptakan oleh Allah Swt. Sebagaimana tercermin dalam firman-Nya Qs.
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ

Orang Tua, Guru Pertama.
         
Manusia terlahir dalam keadaan tidaktahu. Untuk mengenal dirinya dan alam lingkungan, tidak dapat dicapai oleh dirinya sendiri. Ia membutuhkan pembimbing dan penuntun. Kecuali Nabi Adam As, penuntun dan pebimbing pertama adalah orang tua/ pengasuh/ wali anak. Yang mana dalam mengasuh anak dan membiayai hidupnya, orang tua tidak memiliki tujuan, kecuali hanya untuk mendewasakan serta mengantarkannya menuju keberhasilan dan kebahagiaan. Melihat anak asuh berhasil dan sukses, orang tua merasa telah menunaikan tugas utamanya. Dengan demikian, secara asasi, tugas dan kewajiban mendidik anak adalah tugas orang tua/ wali anak. Tanggung jawab terhadap kebaikan  atau kedudukan anak menjadi tanggung jawab orang tua/ wali anak.
Namun, karena kemampuan atau waktu yang dimiliki oleh wali anak sering terbatas, maka pendidikan anak diwakilkan kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang mampu. Dengan demikian, orang lain (guru) atau lembaga pendidikan tersebut, dalam mendidik anak didik, bersifat sebagai wakil. Maka, yang patut dan wajib mereka sadari adalah bahwa mereka hanyalah sebagai wakil dari orang tua/ wali anak didik. Dan bukan sebagai penguasa terhadap anak didik, yang tidak mengharapkan apa-apa, kecuali agar anak didik kembali kepada orang tua dengan membawa keberhasilan-keberhasilan serta dapat mengerti bahwa menghormat dan mecintai orang tuanya. Jika terdapat dari salah satu wakil dari wali anak (guru atau lembaga pendidikan), menghasilkan terbeloknya rasa hormat dan rasa cinta anak tidak tertuju bukan kepada kepada orang tua, tetapi kepada  lembaga pendidikan  atau pribadi guru, berarti telah membelokkan tugas pendidikan yang dipercayakan kepadanya.
Dan atas kehendak Allah Swt semata, kecuali Nabi Adam As, setiap manusia memiliki dua orang tua/ wali anak.
Pertama, orang tua jasmani.
Bapak ibu kandung, sebagai orang tua yang berdasar genetika ragawi. Kecuali Nabi Adam As, Siti Hawa dan Nabi Isa As, setiap orang, memiliki orang tua kandung jasmani. Dan orang tua kandung inilah secara umum yang paling berjasa kepada manusia. Orang tua bertugas melahirkan, membesarkan dan mendewakan anak. Tidak orang yang paling berjasa kepada manusia, kecauli bapak dan ibu. Dan karenanya, kepada mereka berdua, manusia diwajibkan berbakti setelah berbakti kepada Allah Swt.
Kedua, orang tua / wali ruhani. 
Beliau Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra. Beliau disebut sebagai orang tua ruhani, karena ia memiliki sifat yang lebih tinggi dan khusus daripada orang tua jasmani. Ia sebagai asal dan sumber ruhani, bahkan ia sebagai asal dan jiwa makhluk. Sebagaimana yang tersimpul dalam shalawat tsaljul qulub (وَأَصْلَهُ وَرُوْحَهُ). Orang tua ruhani inilah merupakan orang tua yang hakiki bagi seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Dan karenanya, jika seseorang dapat bertemu dengan guru sejati, Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra, berarti ia telah bertemu dengan orang yang asli dan sejati. Beliaulah wali ruhani, asal mula jiwa murid. Sebagaimana keterangan dalam hadis :
أَنَا أَبُو الأَرْوَاحِ وَأَدَمُ أَبُو الأَجْسَادِ : Aku adalah bapak semua jiwa, sedangkan Adam bapak jasad. (kitab Jawahirul Bihar-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra).
Yang membesarkan dan memandaikan manusia, secara ruhani, adalah orang tua hakiki. Sedangkan orang tua jasmani hanyalah wakilnya sebagai sarana wujudnya manusia didunia. Demikian pula, lembaga pendidikan atau guru ilmu pengetahuan, secara hakiki, adalah sebagai wakilnya.  Sebagaimana tercermin dalam hadis :
 العُلَمَاءُ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ : Ulama (orang pandai/ guru) adalah sebagai waris (waki) para nabi.

Tujuan al-Qur’an Diturunkan.
 Tujuan utama diturunkannya al-Qur’a, antara lain :
1.                 mendidik manusia, agar dapat mengerti mengenal dan menghargai kedua jenis orang tua. Dan agar ketaatan, kecintaan dan kesetiaan yang tertinggi hanya tertuju kepada orang tua, khususnya kepada orang tua hakiki. Dan jika manusia tidak melakukan hal ini, mereka telah berbuat fasiq. Firman Allah Swt   :
قُلْ اِنْ كَانَ أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُكُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم وَعَشِيْرَتُكُم وَأَمْوَالٌ اقتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهاَ أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه فَتَرَبّصُوا حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ الفَا سِقِيْنَ
Katakanlah (Muhammad): jika sekiranya bapak, anak, saudara, suami atau istri dan keluarga kamu semua, serta harta yang telah kalian kumpulkan, perniagaan yang kalian takut kebangkrutannya dan tempat tinggal yang kalian rela didalamnya, lebih kalian cintai dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan dijalan-Nya, maka tunggulah, sampai datangnya keputusan Allah. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang fasik.. (Qs, at-Taubah : 24).
2.                 Agar manusia menyadari bahwa orang tua ruhani  menguasai dirinya. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah  :  55  :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ : Sesungguhnya pelindungmu adalah Allah dan rasul-Nya.
وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمٍِنِينَ
Dan Allah dan rasul-Nya lebih berhak untuk mereka ridlai kepada-Nya, jika kamu semua sebagai orang yang beriman. (Qs. At-Taubah : 62).
Dan kitab Sa’adah ad-Daraini-nya She Yusuf an-Nabhani Ra pada bab IX (tentang “ru’yatun nabi”) halaman 435 diterangkan, bahwa seseorang belum dapat dikatakan sempurna kedudukannya sebagai hamba Allah Swt, sebelum ia dapat bertemu dan menyatukan jiwanya dengan jiwa orang tua ruhani (Rasulullah Saw).
          لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍ إِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada guru.
Dan pula al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) menerangkan. Ukuran keislaman seseorang diukur dari tidak tertutupnya matahati (meski satu kedipan mata) dari memandang orang tua ruhani/  Rasulullah Saw.  
لَوْ حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي سَاعَةٍ  مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik saja dalam setiap satu jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung diriku bagian dari golongan orang Islam.
3.                 Ukuran iman seseorang terletak pada kecintaan kepada orang tua ruhani. Seseorang yang tinggi rasa cintanya kepada orang tua ruhani, berarti imannya inggi. Begitu pula sebaliknya. Seseorang yang tipis rasa cintanya kepada Rasulullah Saw (orang tua hakiki), berarti tipis keimanannya. Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam Perjuangan Wahidiyah, pengamalnya dipertemukan dengan orang tua hakiki yang sekaligus sebagai guru hakiki.

3.   Macam-macam Guru.

Dalam kitab Jamiul Usshul-nya Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra dan kitab kehudupan ini tidak lepas dari 3 (tiga) jenis Guru atau Penuntun.

1.   Guru tabarruk .
Guru tabarruk, adalah guru yang dapat mengantar dekat/ sowan seseorang dekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Dengan kekuatan doa dan sinar radiasi batiniyahnya, guru tabarruk mampu mengantar muridnya sadar kepada Allah Swt secara sempurna dan kaffah, dan dapat mengenalkan serta mempertemukan antara murid dengan  orang tua hakiki (Rasulullah Saw). Namun, kurang menguasai ilmu pengetahuan (baik umum atau agama), kecuali pokok-pokonya saja.
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan : [2]
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
            Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka  akan  terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt.

Guru ruhani (Rasulullah Saw atau Naiburrasul Ra), juga sebagai saluran pemberian Allah Swt. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ يُرِدْاللهُ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِيْنِ أِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Barang siapa yang Allah menghendakinya menjadi baik, maka (Allah) memahamkannya dalam agama. Sesungguhnya Aku (Rasulullah Saw) adalah Sang Pembagi dan Allah adalah Sang Pemberi. Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah tengah masarakat. [3]
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81. menjelasan : فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ : Dan diantara mereka, dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah al-Ghauts.

Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :

فَلاَ يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ  يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ تَعَالَى مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي           
Tidak akan sepi pada setiap zaman dari seorang rasul-nya Nabi Muhammad Saw (mujaddid). Dialah al-Quthbu (al-Ghuts Ra), yang menjadi tempat pancaran sinar pemeliharaan Allah kepada agama Islam dan alam. Dan kemudian dari Beliau Ra bercabang-cabanglah seluruh pemeliharaan tersebut kepada alam atas dan alam bawah. [4]

Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar  jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menerangkan : [5]
لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَاسِ
Untuk setiap zaman terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya, dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya :  Engkau adalah ummat manusia terbaik yang diturunkan kedunia.
Mencari, mengikuti dan berguru kepada Guru Tabarruk, hukumnya wajib. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
 وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ : Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali. (Qs. Luqman : 15).
Firman Allah Swt, Qs an-Nahl :  43 :   
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْن  
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau, kecuali seorang lelaki yang Kami memberikan wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada para ahli dzikir, sekiranya kalian tidak  mengetahui.
   الذِي خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ, الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا
Dia Dazt Yang menciptakan langit dan bumi beserta sesuatu yang ada didalmnya dalam enam masa. Kemudian Allah berberkuasa diatas arasy. (tentang) Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah kepada orang yang memahami-Nya (Qs. al-Furqan : 59).
Berkaitan ayat diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra (penjelasan ini telah disepakati oleh pawa auliyaillah Ra) :
 مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ
Barang siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
2.    Guru shuhbah (guru ilmu pengetahuan).
Guru shuhbah hanya mampu menerangkan ilmu pengetahuan (baik umum atau agama. Dan fungsi dan tugas guru ini hanya sebagai wakil dari orang tua ruhani dan orang tua jasmani.
Guru shuhbah hanya dapat dimanfaatkan kemamuan lisannya dalam mengulas ilmu. Sedangkan akhlak dan prilakunya tidak dapat dijadikan tauladan. Bahkan sering guru shuhbah akhlak dan imannya tipis, bahkan cenderung  rusak.
Allah Swt berfirman, Qs. al-Anfaal : 35 :
وَمَاكَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ إِلاَّ مُكَاءًا وَتَصْدِيَةً فَذُوْقُوا العَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون
Dan tidak ada shalat [6] yang mereka lakukan disekitar rumah Allah itu, kecuali hanyalah seperti siulan dan tepuk tangan saja. Maka, rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu sendiri.

Untuk menyempurnakan dan meluruskan keimanan, kepada guru shuhbah juga diwajibkan mencari dan berguru kepada Guru Tabarruk.
  Syeh Amin Al Kurdi Ra menjelakan : [7]
          لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.

3.   Guru tabarruk yang shuhbah.
Guru jenis ketiga ini, disamping memiliki sifat guru tabarruk, juga dapat dijadikan guru shuhbah.
Imam Sofyan Tsaury Ra (pendiri madzhab fiqih, ulama sufi dan ahli dalam bidang hadis) membagi orang alim (guru) kedalam 3 (tiga) bagian  : [8]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka. [9]
Dan pula Imam Syafi’I mengatakan dalam syairnya (kitab Diwan as-Syafii),[10] :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا          فَإِنِّـي  وَحَـقُّ اللهِ  إِيَّاكَ  أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ    تُقًى         وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, kepadamu aku member nasehat. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
          Dan Alhamdulillah, dalam perjuangan Wahidiyah ketiga jenis guru tersebut terkumpul dalam pribadi Beliau Kanjeng Romo Yahi Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo Ra.

4.   Guru Yang menyesatkan.
Rasulullah Saw bersabda :
 إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ  :  Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan. [11]
  أَفَةُ الدِيْنِ ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ : [12]Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang durhaka, imam yang tidak adil dan mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis) yang bodoh.
1)    Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran. Serta mereka menganggap dalam kebenaran.
Allah Swt melarang umat Islam berguru kepada seseorang yang hatinya banyak lupa kepada-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28  :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan memang dia melampaui batas.

4.   Syarat Guru Dan Murid
Yang dimaksud syarat disini adalah syarat yang tamama. Sebagaimana keterangan didepan, bahwa dalam program dan tujuan Perjuangan Wahidiyah, yang ingin mencapai Tamama dalam segala bidang. Maka guru dan murid adalah sistem dan metode yang sempurna pula. 
Syarat yang berl;aku dalam perjuangan Wahidiyah adalah syarat yang beralaku dalam kehidupan para Ghauts Ra terdahulu dan para muridnya., yaitu mencakup keberadaan Guru, ilmu dan murid.

a.           Keberadaan Pribadi Guru.
Alhamdulillah, guru dalam Shalawat Wahidiyah, adalah Guru Ruhani yang sempurna (Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) dan sebagai orang tua hakiki, yang berinabah kepada Allah Swt.
Ciri-ciri Mursyid Yang Kamil Mukammil, antara lain :
1)    Mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw (Naiburrasul).
Dan Imam Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang hakiki, mendapat limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara langsung.
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَر سَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم  فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ  عَلَى  مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini, wajib baginya menghormatnya  secara lahir dan batin.
Dalam kitab al-Insan al-Kamil Syeh Abdul Karim al-Jiliy, para waliyullah dan ulama sufi memfatwakan  :
إِنَّهُ لاَيَزَالُ يَتَصَوَّرُ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِأَكَابِرِهمْ لِيُعْلَى شَأْنُهُ فَهُمْ حُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa membentuk (jiwanya) pada setiap zaman dengan pembesarnya ummat manusia, agar terhormat derajatnya. Maka pembesar tersebut merupakan khalifahnya secara lahir, sedangkan Beliau Saw merupakan batiniyahnya pembesar itu.
HR. Bukhari, Rasulullah Saw :
 زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bumi bagian timur dan bagian baratnya.  Dan akan sampai raja ummat-Ku yang juga menerima  bumi seperti ketika diterimakan kepada-Ku.

2)    Hatinya sebagai pintu hadlartullah.
Kaidah yang masyhur dalam kalangan kaum sufi.
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati orang yang Arif Billah adalah hadlrahnya Allah Swt. Seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah tersebut.
Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid Yang Kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.           
          فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
  Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [13]

b.           Kuwalitas Ilmu.
Ilmu yang tersari dari Shalawat Wahidiyah adalah ilmu ke-Tuhan-an yang tertinggi (pembersihan jiwa dari kemusyrikan  dan makrifat Billah wa Rasulihi Saw, Wahidiyah). Wahidiyah merupakan : مسْتَنَدُ المَعْرِفَةِ  / sandaran seluruh makrifat, dan merupakan   مُنْتَهَى المَعْرِفَةِ/  puncak makrifat (kitab Jamiul Ushul, bagian “mutammimat”).

c.           Keberadaan Pribadi Murid.

Syarat-syarat murid yang benar :
Ø    Kesadaran murid bahwa dirinya adalah manusia yang dlalim dan kufur. Dan kesadaran tentang kejelekan nafsu adalah  berjenjang. Artinya, nafsu kedua dikatakan baik, jika dilihat dari nafsu pertama. Namun terlihat jelek bila dipandang dari nafsu ketiga, apalagi keempat dan seterusnya. Hasanatul Abraar Sayyiatul Muqarrabin.
Ø    Kesiapan seorang murid dalam menerima arahan dan petunjuk guru tentang jenis-jenis nafsu.  Dalam hal ini, kepasrahan murid kepada guru, merupakan kunci keberhasilan.
Ø    Kesadaran murid, bahwa perjuangan melawan diri merupakan perjuangan yang paling besar. Dan karenanya, memerlukan kesungguhan yang extra dalam melaksakan jihadun nafsi.
Ø    Senantiasa mengharapkan doa, restu dan jangkungan Guru.


a.  Akhlak kepada Guru.
Shalat adalah tiang agama. Didalam shalat mengandung makna social.
Makna shalat berjamaah (imam hanya satu).  Perjuangan makrifat yang ada panitia (Miladul Makhluk).
  Cara Berakhlak kepada Beliau Ra, adalah sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah Saw. [14]
 فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
    Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw membentuk jiwa al-Ghauts sebagai fotocopi  jiwa  Beliau Nabi Saw. Tidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.  

Diantara akhlak kepada guru :

a.     Pasrah secara total dan tidak menentang terhadap petunjuk guru.
Seperti dalam kisah turunnya wahyu Mahkota Rama atau  Nabi Musa dengan Nabi Khidlir As. Atau taatnya pasien kepada dokter yang merawatnya.

b.     Tidak mencari jabatan dalam barisan murid.
Sabda Rasulullah Saw :  [15]
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهَنمََ
     Barang siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka jahannam.
c.      Tidak menginginkan despensasi dari guru
Syeh Abdur Rahman Paloga (Pontianak) : Romo Yahi Ra itu orang kuat, sebab berani membuat organisasi untuk para murid. Padahal kebanyakan, jika ada organisasi murid, mereka suka berkelahi.

d.     Tidak iri dengan tugas murid lain yang diberikan oleh guru.
          Seperti terjadi zaman khalifah Umar bin Khatthab Ra, mengganti panglima perang dari Khalid bin Walid kepada Usamah.

e.      Tidak membentuk kepemimpinan sendiri dalam Wahidiyah. Semua pengamal adalah murid yang bermakmum kepada al-Ghauts Ra.
            Seperti shalat berjamaah, makmum tidak mengharapkan dimakmumi oleh murid yang lain.
·          Maka tindakan/ prilaku setiap murid mendapat persetujuan murid yang lain, serta tidak boleh menyalahi aturan jamaah.
f.       Merasa diri/ dapat melihat dirinya banyak dosa yang memutuhkan doa restu guru dalam membersihkannya. Manusia adalah bodoh dan dlalim (Qs. Ibrahim : 34).
Diantara kenegatifan manusia :
Ø mudah melihat aib orang, tapi lemah melihat aib diri.
Ø Ketika susah mencari pertolongan, ketika senang angkuh dan sombong.
Ø Mudah melupakan nikmat Allah Swt (ujub, riya).
g.     Antara murid saling mengingatkan dan koreksi kekurangan, bukan saling menyudutkan.

b.  Manfaat berguru kepada al-Ghauts Ra.

a.                 Selamat dan terhindar dari bimbingan nafsu/ iblis.
Memahami Allah Swt sangatlah sukar. Dan karenanya dalam beragama, mukmin boleh berguru kepada sembarang orang, tapi harus bertanya/ berguru kepada ulama yang benar-benar ahli. Mendekat/ menghadap kepada Allah Swt melalui jalan yang benar.
                 HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda :  Allah Swt berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.
·               Malaikat yang sudah tidak memiliki dosa saja dalam menghadap Allah Swt, wajib makmum kepada Nabi Adam As.
Berkaitan dengan sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam kitab tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah pada ulasan Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ, كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya.  Sebagaimana  ka’bah  sebagai  kiblat  untuk shalat. Sedangkan sujudshalat  hanya untuk Allah. [16]
Dan Imam Shawi Ra dalam kitab Tafsir Shawi, menjelaskan tentang makna sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As : وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ للهِ  : Nabi Adam As sebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud untuk Allah.  Dan dalam memberikan ulasan terhadap kalimah ayat : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ  = Sujudlah kalian kepada Adam, beliau menjelaskan dengan : أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ  : Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian.
b.     Memahami tempat pancaran nikmat Allah Swt.
          HR. Thabrani dan Abu Ya’la, Rasulullah Saw bersabda  :
     إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئَا أَوْأَرَادَ عَوْنًا فِي الاَرْضِ لَيْسَ فِيْهِ أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَاعِبَادَ اللهِ أَعِيْنُوْنِي
Jika kamu semua tersesat tentang sesuatu atau menginginkan pertolongan diatas bumi, yang ditempat itu tidak ada penolong, maka berkatalah : “Wahai Kekasih Allah yang ahli beribadah, tolonglah kami ini. [17]
HR. al-Haakim, Rasulullah Saw :    الرَحْمَةُ بِأكَابِرِكُمْ: Keberkahan bersama pembesarmu
Dalam kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani  pada  bab  “qaf”  dijelaskan,  tugas rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
  وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ 
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[18]
c.      Dapat memahami pancaran Rasulullah Saw.
Kata “malik/ raja dari ummat-Ku”, adalah al-Ghauts Ra.
d.     Dapat memahami hakikat diri, anak ruhani al-Ghauts Ra.
Guru Yang kamil adalah Bapak Ruhani. Kitab al-Anwarul Qudsiyah :
  رُوْحُ المُرِيْدِ مِنْ رُوْحِ المُرْشِدِ  :  Jiwa murid, sebagian dari jiwa guru (Yang Kamil)
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :
         مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوكَانَ لَهُ عِبَادَةُ الثَقَلَيْنِ
Barang siapa yang keluar dari dunia (mati) sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari kelompok jin dan manusia.[19]
e.      Tidak syirik bil-ghauts. Kitab al-Anwarul Qudsiyah :
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَالمَشَايِخُ لاَيَغْفِرُونَ أَنْ يُشْرَكَ بِهِمْ.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syamsuddin al-Hanafi Ra (w. 847 H) menjelaskan, bahwa karamah yang muncul dari para wali dimanapun mereka berada\ pada hakikinya memancar dari al-Ghauts Ra pada waktu itu.[20]
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْقَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.

c.  Sallab dan Jallab.

a.  Sallab
Hadis riwayat Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : 
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ,فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
HR. Bukhari, Rasulullah Saw bersabda  :
انّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ مَنْ عَادَ لِي وَلِيًّا فَقَدْ اَذ نْتُهُ بِالحَرْبِ
Sesungguhnya Allah SWT berfirman : Barang siapa yang memusuhi  kekasih-Ku, maka Aku (Allah) menyatakan perang kepadanya“.
b.  Jallab
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar, dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan  :
  وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ
 تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :[21]
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
           
Jenis-jenis Jallab dan sallab makhluk, antara lain :
a.        Sallab Jallab Malikat Jibril As.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik  dijelaskan, ketika menjalang keberangkatan mi’raj ke langit, malaikat Jibril atas perintah Allah Swt, meningkatkan (jallaab) iman Rasulullah Saw. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw
فُرِجَ عَنْ سَقْفِ بَيْتِي فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah) jibril menuangkannya kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) jibril menutupnya kembali.
Perbuatan Jibril As “menuangkan”  iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah Saw, dapat dikatakan perbuatan Jalllab, yang secara lahiriyah dilakukan oleh mahluk (Jibril As).  
b.        Sallab Jallab Rasulullah Saw.
Sahabat Dzul Khuwairitsah at-Tamimi memiliki keturunan yang merugikan Islam, setelah menyakiti hati Rasulullah Saw serta mendapat efek dari sallab jallab.
Sepulang dari perang Thaif dan Hunain, kaum muslimin mendapat ghanimah yang banyak . Rasulullah Saw membaginya kepada para sahabat. Masing-masing mendapatkan sesuai kadar pengabdian dan jasa yang mereka berikan. Namun dalam pandangan al-Khuwairitsah, terdapat keputusan kurang adil, yakni kepada Abu Sufan yang baru masuk Islam, mandapatkan bagian lebih besar bila dibandingkan  bagian Abu Bakar dan Umar, yang notabene masuknya Islam lebih dahulu. Kepada Rasulullah Saw al-Khuwasirah berkata : Wahai Muhammad, berbuat adillah kamu. Beliau Saw menjawab : Mana mungkin manusia akan berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil.
Umar bin Khatthab ketika melihat kejadian ini, berdiri serta berkata : Wahai Rasulullah Saw, biar aku pukul. Beliau Saw bersabda :  Biarkan orang itu.
Mendengan ucapan Umar, Dzul Khuwasirah pergi meninggalkan ruang persidangan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah yang menembus binatang buruan. Mereka memerang orang Islam serta membiarkan kaum penyembah berhala. Jika aku menemui mereka niscaya kepenggal lehernya, seperti halnya kauj Ad (HR. Muslim). [22]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga, Rasulullah Saw bersabda :  Mereka itu sejelek-jelek makhluk, bahkan sejelek-jelek binatang. Mereka tidak termasuk golongan-Ku, dan Aku tidak termasuk golongan mereka.
Lahirnya keturunan buruk dari Dzul Khuwaisirah, secara hakiki disebabkan dari sallab jallabnya Allah Swt semata, yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw.
c.         Sallab Jallab Para Waliyullah Ra :
Sebelum Wali Songo memperjuangkan Islam di Indonesia, masarakat tidak memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Dan setelah mereka berjuang di Indonesia dan khususnya tanah Jawa, masarakat hatinya memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Iman masarakat dapat dikatakan sebagai Jallab para waliyullah tersebut.
Al-Ghauts Ra dan para waliyullah menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
HR. Imam Ahmad, Thabrani  dan Abu Nuaim dari ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda : [23]
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
 Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong.
Demikian pula dalam keyakinan setiap pengamal tarekat (apapun jenisnya), misalnya tarekat “Qadiriyah” meyakini Syeh Abdul Qadir memiliki karomah Sallaab dan Jallab. Sebagaimana yang disamapiakan oleh Syeh Abdul Qadir berkata  :
أَنَاَ سَلاَّبُ الاَحْواَلِ Aku adalah pencabut kondisi batiniyah seseorang.
(Kitab Lujain ad-Daani, bab “fatwa dan karamah”).
Dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menerangkan : Syeh Ibnu as-Saqaa, menjadi murtad setelah menyakiti hati dan suul adab kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadzani Ra (guru al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul al-Jailani Ra).

d.           Sallab Jallab Para Ulama.
Setiap daerah yang ditempati oleh seorang ulama, sudah tentu iman dan ketekunan ibadah masarakat akan meningkat. Ini dapat dikatakan sebagai karomah Jallab yang dimiliki oleh setiap ulama.





[1].       Lihat,
[2].     Kitab Thabaqaat al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala”. 
[3].     Imam bukhari juga meriwayatkannya dalam Shahih Bukari jilid I, dalam kitab “iman” bab “man yuriid”. Hadis yang sepadan arti juga  diriwayatkan oleh Imam Hakim, Baihaqi dan Imam Tirmidzi
[4].    Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,  Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra), Jami’ul Ushul fil Auliya’  (Syeh Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[5].     Syeh Muhammad Wafa, adalah diantara 4 wali al-Ghauts yang tidak dapat membaca dan menulis.
[6].     Para ulama mengatakan : menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat secara lahir (sebagaimana dalam ilmu fiqih) dan secara batin (menghayati dan megamalkan makna ucapan dan perbuatan dalam shalat). Menegakkan shalat secara semestinya dapat menjauhkan dari prilaku mungkar.
إنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَامَسَّهُ الشَرُّ جَزُوعًا وَإِذَامَسَّهُ الخَيْرُ مَنُوعًا إِلاَّالمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُون.   
  Sungguh manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Ketika mendapat kesusahan ia berkeluh kesah. Dan ketika mendapat kenikmatan ia amat kikir. Kecuali orang yang menegakkan shalat. Yaitu, orang-orang yang melaksanakan shalat secara terus-terus (Qs. Al-Ma’arij : 19–27).
[7].     Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul qulub nya Syeh Amin Al Kurdi, percetakan Bairut, halaman  36.
[8].     Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[9].     Dalam kitab Muhtashar Ihya’-nya Imam Ghazali, pada bab I, (tentang Ilmu) pasal ulasan “afat ilmu”, Imam Hasan al-Bashri berkata  :  عُُقُوبَةُ العُلمَاءِ مَوْتُ القَلْبِ وَمَوْتُ القَلْبِ طَلَبُ الدُنْيَا بِعَمَلِ الاخِرَةِ :  Siksaan bagi para ulama itu matinya hati. Matinya hati itu mencari dunia dengan amalan akhirat.
[10].    Kitab Diwan as-Syafii, terbitan “Dar al-Jil” Bairut tahun 1974.
            Disini yang perlu mendapat perhatian, teks syair Imam Syafii tersebut tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan oleh kaum Salafi Wahhabi. (lihat dalam e-book (buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
            Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa kaum Salafi Wahhabi dalam membela akidahnya, mereka melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah, yakni menghapus, memalsukan teks-teks yang bertentangan dengan akdidahnya yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama klasik.  Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih-nya Imam Bukhari dan Muslim juga dihapu dan dipalsukan.
[11].    Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[12].    HR. Ad-Dailami, dari Ibnu Abbas Ra dalam Jami’ as-Shaghir,  juz I, pada bab “alif”.
[13].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[14].   Kitab Insan al-Kamil, juz II/75 bab “insan al-kamil”.
[15].    HR. Ibnu Abd Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[16].    Keterangan yang sepadan dengan ulasan Syeh Sulaiman al-Ajili tersebut, terdapat dalam buku tafsir AL-MISHBAH karya Prof. M. Quraisyi Syihab MA, pada ayat dan surat yang sama.          
[17].    Kitab Mafahim nya  Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[18].    Lihat juga kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz  II/ 80.
[19].    Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[20].    Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh, Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[21].      HR. Muslim dan Bukhari, (kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09. Dan kitab Al Syifa  Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II, dalam bab tha’aturrassul). Para ulama ahli hadis, menyatakan bahwa Syeh ‘Iyadl ini, perawi hadis yang tsiqqah (dapat dipercaya).
[22].      Ulasan dari Prof. Dr. KH. Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PB NU 2012) dalam memberikan pengantar  buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahhabi”, penerbit Pustaka Pesantren cet. XX tahun 2012) karya Syeh Idahram. Hadis diatas tertulis dalam Shahih Muslim pada kitab Zakat dan Qismah.   
[23].      Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.