Pengertian
Dan Redaksi Shalawat
A.
Pengertian Shalawat.
Firman Allah Swt, Qs.
al-Ahzaab : 56
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَبِي يَأَيّهَا الذِيْنَ
أَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu semua kepadanya dan bersalamlah [1] dengan salam/ taslim yang semestinya.
Ayat shalawat diatas menunjukkan tentang keagungan fungsi dan
ketinggian makna serta tujuan shalawat kepada Rasulullah Saw.[2] Sebelum memerintahkan
kepada orang mukmin agar bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, Allah Swt
bershalawat terlebih dahulu. Padahal Dia Yang Maha Pencipta, yang tidak
membutuhkan pertolongan makhluk (termasuk Rasulullah Saw). Shalawat-Nya kepada Rasulullah
Saw, sebagai penguat, pendorong dan sebagai penjelas
terhadap pentingnya setiap mukmin bershalawat nabi. Dan karenanya, sebagai manusia
yang membutuhkan Rasulullah Saw serta berhutang budi kepadanya, seharusnya
senantiasa menyanjungkan shalawat kepadanya.
Diantara keagungan dan hikmah yang terkandung dalam ayat shalawat
diatas :
a). penggunaan kata kerja (fi’il mudlari’
: يُصَلُّوْنَ / yushalluna) yang bermakna = sedang
atau akan bershalawat). Penggunaan fi’il mudlari’ disini, sebagai
pemberitaan tentang kelestarian atau kesenantiasaan. Berbeda dengan fi’il madly
(kata صَلَّى: yang memiliki makna telah/
sudah bershalawat), menunjukkan arti pengamalan shalawat dalam waktu yang telah
lewat (sudah dilakukan), dan sekarang tidak lagi bershalawat.
Dengan kata lain, Allah Swt dan malikat-Nya bershalawat
kepada Nabi Muhammad Saw “tidak mengenal batas jumlah dan waktu”. Artinya, Allah
Swt setelah menciptakan Nabi Muhammad Saw, senantiasa bershalawat kepadanya
pada waktu dahulu, sekarang dan nanti (terus menerus/ senantiasa). Demikian
pula malaikat, setelah memahami kalau Allah Swt saja bershalawat, maka mereka mengikuti
dan senantiasa bershalawat.
Dalam
hal ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M)
dalam kitabnya Afdlalus Shalawat,[3] menukil dari fatwa Syeh
Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra : Aku mendengar guruku (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Ali al-Khawas Ra) berkata :
صَلاَةُ اللهِ عَلَى عَبْدِهِ لاَيَدْخُلُهَا العَدَدُ
لأِنَّهُ لَيْسَ لِصَلاَتِهِ تَعَالَى اِبْتِدَاءٌ وَلاَ اِنْتِهَاءٌ. وَإَنَّمَادَخَلَهَا
العَدَدُ مِنْ حَدِيْثٍ مَرْتَبَةُ العَبْدِ المُصَلِّي لأَنَّهُ مَحْصُورٌ
مُقَيَّدٌ بِالزَمَانِ. فَتَنْزِلُ الحَقُّ
تَعَالَى لِلْعَبْدِ بِحَسَبِ شَاكِلَةِ العِبْدِ. فَأُخْبِرَ أَنَّهُ يُصَلِّي عَلَى عَبْدِهِ
بِكُلِّ مَرَّةٍ عَشْرًا, فَافْهَمْ.
Dalam shalawat Allah Swt
kepada hamba-Nya tidak dapat memasukkan jumlah bilangan. Kerana shalawat Allah
Swt itu tidak ada istilah permulaan dan kesudahan waktu. Dan sekiranya memasukkan bilangan – sebagaimana
keterangan dalam hadis –, dikarenakan berkaitan dengan shalawat yang dilakukan
oleh hamba, yang tidak terlepas dengan adanya zaman. Allah Swt dalam menurunkan
rahmat-Nya, sudah tentu menggunakan istilah yang disesuaikan dengan hamba
(makhluk). Hingga penjelasan (dalam hadis), Allah membalas dengan sepuluh kali
shalawat kepada orang yang bershalawat satu kali.
b. shalawat merupakan amal ibadah yang sangat mudah
diterima oleh Allah Swt, tanpa memerlukan persyaratan yang berat sebagaimana
dalam ibadah lainnya.
c. bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan cara
paling mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
d. bershalawat dapat menumbuhkan rasa mahabbah kepada
Rasulullah Saw dengan. Yang mana, rasa mahabbah tersebut merupakan kunci
kesempurnaan iman kepada-Nya.
Makna Shalawat
Kata SHALAWAAT merupakan kata jama’ dari akar kata shalaat
yang menurut bahasa, asal maknanya adalah DOA.
Makna secara umum :
1.
Shalawat Allah Swt kepada
Rasulullah Saw adalah anugrah-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Diantara anugrah
tersebut, antara lain berupa rahmat, pujian, kemulyaan, keagungan (rahmat
ta’dzim) dan sekaligus kedekatan-Nya kepada rasul secara khusus. Sedangkan shalawat-Nya kepada selain Nabi
Muhammad Saw adalah rahmat dan ampunan.[4]
2.
Shalawat malaikat kepada Nabi
Muhammad Saw adalah menghormat serta memulyakannya, yang dilakukan dalam bentuk
perbuatan dan doa permohonan agar Allah Swt menampakkan keagungan dan kemulyaan
Rasulullah Saw.
3.
Shalawat orang mukmin kepada Nabi
Muhammad Saw adalah memujinya, menghormatnya dan memulyakannya sesuai kedudukan
dan keagungan yang diberikan oleh Allah Swt. Pujian, penghormatan dan pemulyaan
ini, dilakukan dalam bentuk perbuatan dan doa permohonan agar Allah Swt
menampakkan keagungan dan kemulyaan Rasulullah Saw.[5]
Kata SHALAWAT, merupakan kalimat pokok yang terdapat dalam
susunan redaksi doa (baik berbahasa arab atau bahasa lainnya). Pada umumnya,
redaksi shalawat menunjukkan arti sanjungan terhadap keagungan dan kemulyaan
Rasulullah Saw dan juga permohonan agar Allah Swt senantiasa mencurahkan serta
menampakkan keagungan dan kemulyaan Nabi Muhammad Saw ditengah-tengah kehidupan
nyata. Dan pula biasanya, disertai dengan kata-kta yang memiliki makna yang
menunjukkan kepada arti bahwa Rasulullah Saw adalah tempat keselamatan,
kedamaian dan keberkahan bagi setiap makhluk. Dan redaksi shalawat akan lebih menjadi sempurna
bila disertai sanjungan shalawat juga kepada keluarga dan sahabatnya.
Penggunaan kalimat SHALAWAT dalam redaksi
shalawat yang
menggunakan bahasa arab\, antara lain :
1.
Menggunakan fi’il madli (kata
kerja telah lewat), seperti kata SHALLA (صَلَّى). Menurut makna
aslinya kata ini menunjukkan pelaksanaan shalawat dalam waktu yang telah lewat,
yakni : <Allah> telah bershalawat).
2.
Menggunakan fi’il mudlari’
(kata kerja makna sedang atau akan), seperti kata YUSHALLIY ((يُصَلِّي,
yang menurut makna aslinya memiliki arti <Allah> sedang atau
bershalawat). Redaksi shalawat yang menggunakan kata YUSHALLIY menunjukkan
Allah Swt bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dilaksanakan dalam waktu
sekarang dan akan datang. Maknanya menunjukkan kelestarian shalawat Allah Swt kepada
Nabi Muhammad Saw.
3.
Menggunakan isim mashdar (kata
jadian), seperti kata SHALAT atau SHALAWAT صَلاَة) atau
صَلَوَات. Redaksi shalawat
yang menggunakan kata ini tidak menjelaskan waktu pelaksanaan (baik sudah,
sedang atau akan).
4.
Menggunakan fi’il amar (kata
perintah atau permohonan), seperti kata SHALLI (صَلِّ ) yang memiliki
arti : (Ya Allah) berikanlah shalawat-Mu). Redaksi shalawat yang
menggunakan kata ini menunjukkan makna permohonan agar Allah Swt menyampaikan
shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, atau dengan
kata lain, agar Allah Swt semakin menampakkan makna shalawat tersebut.
Kata pokok shalawat tersebut diatas, kemudian dirangkai
dengan kalimat عَلَى مُحَمَّد (‘alaa Muhammad = kepada Nabi Muhammad),
atau dengan asma Nabi Muhammad Saw yang lain (Thaha, Yasin, Mushthafa, al-Hadi,
as-Syafi’, Musyaffa’, Nural Khalqi dan lainnya), dan atau ada tambahan
rangkaian kata وَعَلَى آلِهِ (wa ‘aalihi = dan kepada
keluarganya), dan atau dengan وَصَحْبِهِ
(washahbihi = dan sahabatnya).
Para ulama telah
bersepakat; bahwa didalam kata صَلَّى = shalla, sudah mengandung arti kata بَارَكَ = memberi barakah dan kata سَلَّمَ = memberikan salam. Redaksi
shalawat yang hanya menggunakan kata “shalla” saja, tanpa disertai kata
“baraka” dan “sallama”, maknanya sudah mencakup keduanya. Dan sering juga dalam
redaksi shalawat, kedua kata tersebut dirangkai dengan kata صَلَّى = shalla, dengan maksud sebagai
penguat dan penjelas kepada makna shalla.
Tujuan Pemilihan Kalimat
Makna semua
redaksi shalawat, bertujuan memberitahukan bahwa Allah Swt bershalawat kepada
Rasulullah Saw tanpa disebabkan oleh permohonan dari hamba-Nya, dan murni dari kehendak-Nya Sendiri Yang
Mutlak.
Sedangkan tujuan
penggunaan kata shalla, yushalli atau kata jadiannya shalat, shalawat,
paling tidak terdapat tiga (3) makna :
1.
Sebagai pemberitahuan
(kepada mukmin) bahwa Allah Swt telah mencurahkan shalawat-Nya kepada Nabi
Muhammad Saw.[6]
Kalimat pokok yang
dipakai, biasanya menggunakan kalimat berita :
a.
Fi’il madly (kata kerja bermakna
telah lewat/ sudah melaksanakan) :
*.
صَلَّى اللهُ عَلَى
مُحَمّد = Shallallahu ‘alaa
Muhammad : Allah telah bershalawat
kepada Nabi Muhammad.
*.صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وسَلَّم = Shalla Allahu ‘alaihi
wa sallama : Allah telah bershalawat dan bersalam
kepadanya.
*. صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وبَارَكَ وَسَلَّمَ = Shallallahu
‘alaihi wa baaraka wa sallama = Allah telah bershalawat,
memberi barakah dan bersalam kepadanya (rasul)
b.
fi’il mudlari’ (kata kerja yang
bermakna sedang atau akan melaksanakan) :
اللهُ يُصَلِّي وَيُسَلِّمُ وَيُبَارِكُ عَلَيْهِ = Allahu yushalli
wa yusallimu wa yubariku ‘alaihi =: Allah sedang bershalawat
menyampaikan dan memberkati kepadanya (rasul).
c.
Isim mashdar (kata jadian) dari kata kerja صَلَى : shalla,بَارَكَ : baraka atau سَلَّم :
sallama (yang menujukkan tanpa ada penjelasan waktu
pelaksanaan) :
صَلاَةُ اللهِ سَلاَمُ اللهِ عَلَى طَهَ رَسُوْلِ اللهِ
= Shalatullah salamullah
‘alaa Thaha Rasulillah : Shalawat dan salam Allah (diberikan) kepada Thaha
Rasulullah.
2.
Sebagai pengakuan, sanjungan
dan penghormatan mukmin. Kalimat yang digunakan biasanya menggunakan
kalam khabar (baik jumlah isimiyah atau fi’liyah). Misalnya :
الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِكَ يَاسَيِّدِي يَا رَسُولَ
الله
Shalawat dan salam (Allah) senantiasa
tercurah kepadamu dan keluargamu, duhai Pimpinan kami, duhai Utusan Allah.
b. Yaa Syaafi’al Khalqis Shalaatu
Wassalam, ‘Alaika Nuural Khalqi Haadiyal Anaam / يَا شَافِعَ الخَلْقِ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ عَلَيْكَ
نُورَ الخَلْقِ هَادِيَ الأنَامِ : Duhai Nabi Pemberi
syafaat makhluk, shalawat dan salam Allah (senantiasa) kepadamu, duhai Nabi
Cahaya makhluk. Nabi Pembawa hidayah manusia.
Makna yang terkandung dalam susunan
redaksi shalawat diatas menunjukkan bahwa pengamal shalawat telah menyadari dan
mengakui dengan sepenuh hati bahwa
shalawat dan salam Allah Swt senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Saw, baik
ada atau tidak permintaan dari makhluk.
3.
Sebagai permohonan mukmin kepada
Allah Swt.
Kata shalawat
menggunakan kerja perintah atau permohonan (fi’il amar), misalnya :
a. Allahumma
shalli ‘alaa Muhammad = أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ: Ya Allah sampaikanlah shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad.
b. Allahumma Shalli wa sallim wa baarik ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala ali
Sayyidina Muhammad = اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد : Ya Allah sampaikanlah shalawat, salam dan berkah-Mu kepada
Pimpinan kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga Pimpinan kami Nabi Muhammad.
Makna yang terkandung dalam susunan redaksi jenis ketiga
ini menunjukkan mushalli (orang yang bershalawat) memohon kepada Allah Swt agar
memberikan shalawat (menampakkan keagungan dan kemulyaan)-Nya kepada Rasulullah
Saw.
Makna yang dapat dipahami dari penggunaan redaksi jenis ketiga ini :
a.
mushalli belum memahami tentang shalawat Allah Swt yang senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Saw, atau
b.
mushalli sudah menyadari bahwa shalawat-Nya senantiasa tercurahkan
kepada rasul. Dan mereka bershalawat semata-mata atas perintah Allah Swt bukan
karena meyakini Allah Swt baru/ akan bershalawat setelah ada permohonan.
c.
Mushalli berharap agar Allah Swt berkenan semakin menampakkan kebesaran
dan keagungan Rasulullah Saw ditengah tengah kehidupan nyata melalui wakilnya,
yaitu Ghauts pada setiap zaman.
B.
Tujuan Dan Fungsi Shalawat.
Sangat banyak
fungsi atau faedah shalawat kepada Rsulullah Saw, dan hanya Allah Swt yang
mengetahuinya. Perjuangan Wahidiyah dengan amalan shalawat Wahidiyah bertujuan
memberi pengertian kepada ummat dan masarakat tanpa pandang bulu agar memahami
dan merasakan keagungan serta kedudukan Rasulullah Saw disisi-Nya. Hanya dengan
bershalawat (lebih-lebih dibimbing oleh Guru Kamil Mukammil/ al-Ghauts) Ra),
jalan menuju pemahaman tentang keberadaan dan kebesarannya secara musyahadah.
Diantara keagungan
fungsi atau faedah shalawat tersebut, antara lain :
1.
Untuk memudahkan terkabulnya permohonan mukmin kepada Allah Swt.
Doa permohonan
yang dipanjatkan oleh mukmin tidak akan sampai kepada Allah Swt, selama tidak
disertai dengan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
الدُعَاءُ
مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَصْعَدُ حَتَّى يُصَلِّى عَلَىَّ
فَلاَ تَجْعَلُوْنِى كَغَمْرِ الرَاكِبِ فَصَلُّوا عَلَيَّ أَوَّلَ الدُعَاءِ
وَأَخِرِهِ وَأَوْسَطِهِ
Doa berhenti antara
langit dan bumi yang tidak dapat naik (tidak sampai kepada Allah), hingga
(orang yang berdoa) bershalawat kepadaku. Maka, janganlah kamu semua membuatku
bagaikan (gelas minuman pengemudi).[9] Dan bershalawatlah kepadaku, pada awal,
akhir dan pada pertengahan doa.
Makna
lain dari hadis ini, mengabarkan bahwa mukmin harus menyadari bahwa Rasulullah
Saw merupakan penyebab terkabulnya doa. Dan karenanya, Beliau Saw harus
ditempatkan pada awal, pertengahan dan akhir doa. Mukmin akan ternilai tidak
baik (berakhlak buruk), jika menjadikan Rasulullah Saw bagaikan gelas
pengemudi, yang dipakai jika dibutuhkan, dan diletakkan (tidak dipakai) jika
sudah tidak dibutuhkan, bagaikan dalam pepatah : “habis manis sepah dibuang”.
2.
Untuk mendapatkan rahmat dan anugrah Allah Swt yang berlimpah.
Makna bershalawat
kepada Nabi Muhammad Saw, bukan berarti menolong kepada Nabi Saw, akan tetapi
manfaatnya kembali kepada orang yang bershalawat
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barang siapa bershalawat
kepada-ku sekali saja, maka Allah Akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.
3.
Untuk memperoleh kedekatan kepada Allah Swt sedekat-dekatnya. Sebagaimana yang diterangkan
dalam sabda Rasulullah Saw tentang Nabi Musa As.
أَوْحَى اللهُ تَعَالَى مُوسَى : يَا مُوسَى أَتُرِيْدُ
أَنْ أَكُونَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كَلاَمِكَ إِلَى لِسَانِكَ وَمِنْ وَاسْوَاسِ
قَلْبِكَ إِلَى قَلْبِكَ وَمِنْ رُوحِكَ إِلَى بَدَنِكَ وَمِنْ نُورِ بَصَرِكَ
إِلَى عَيْنِكَ ؟. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ
: أَكْثِرِ الصَلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Allah Swt memberikan wahyu
kepada Musa : Wahai Musa apakah kamu ingin AKU lebih dekat kepadamu daripada
pembicaraanmu dengan lisanmu, daripada bisikan hatimu dengan hatimu, daripada
ruhmu dengan badanmu dan dari pada cahaya matamu dengan matamu ?. Jawab Musa : Ya. Allah Swt bersabda : Perbanyaklah bershalawat
kepada Muhammad Saw.[11]
4.
Untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Saw serta memohon doa restu
dan syafaatnya, serta untuk rahmat Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam :
a.
Firman Allah Swt, Qs. at-Taubah : 99 :
مِنَ
الأَعْرَابِ مَنْ يُؤِمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَايُنْفِقُ
قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلاَ إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ
سَيَدْخِلُهُمُ اللهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ
Dan diantara mereka, ada
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang
dinafkahkannya (dijalan Allah) sebagai jalan pendekatan kepada Allah dan untuk
memperoleh doa Rasul. Ketahuilah infaq tersebut sebagai jalan
(pendekatan kepada Allah dan untuk memperoleh doa Rasul) bagi mereka. Kelak
Allah akan memasukkan mereka kedalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Dzat Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b.
Hadis riwayat Imam Baihaqi dari sahabat Abi Umaamah Ra :
مَنْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبُهُمْ مِنِّي
مَنْزِلَةً.
Barang siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku,
maka dialah yang paling dekat kedudukannya dengan aku.[12]
c.
Hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah
Saw bersabda:
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا
وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ
صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, dan
janganlah kamu jadikan kuburku
seperti hariraya, bershalawatlah kamu
semua kepadaku. Sesungguhnya shalawatmu sampai kepadaku dimanapun
kamu semua berada.
Hadis riwayat Muslim ini, maknanya diperkuat oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Syeh Abdur Razaq,[13] Ibnu Khuzaimah dan Imam
Hakim dari jalur Anas Ibn Malik Rasulullah Saw bersabda :[14]
أَكْرِمُوا بُيُوتَكُمْ بِبَعْضِ صَلاَتِكُمْ وَلاَتَتَّخِذُوهَا
قُبُورًا.
Mulyakanlah rumahmu dengan
sebagian shalawat (dan shalat)-mu. Dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan.
وَإِنْ أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ
حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ : وَبَعْدَ المَوتِ ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ
حَرَّمَ عَلَى الأرْضِ أَنْ تَاْكُلَ
أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ, فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Dan tidaklah seseorang yang
bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan kepadaku sampai ia
selesai dari bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah mati?. Jawab
(Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi (masa)
memakan (merusak) jasad para nabi.
Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.[16]
Dari beberapa hadis yang tertulis
diatas, dapat diambil tiga kesimpulan :
a.
Setiap mukmin wajib beriman bahwa Rasulullah Saw masih
hidup secara ruhani.
b.
Semakin banyak seseorang bershalawat kepadanya, berarti
semakin dekat jiwanya kepada Rasulullah Saw.
c.
Kedekatan mukmin kepada Allah Swt, diukur dari seberapa
jauh atau dekatnya dengan Rasulullah Saw. Semakin dekat jiwa mukmin kepada
Rasulullah Saw berarti semakin dekat kepada Allah Swt. Demikian pula sebaliknya,
semakin jauh dari Rasulullah Saw, berarti semakin jauh dari Allah Swt
5.
Untuk memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw disisi
Allah Swt yang mengalahkan kedudukan semua mahluk, secara musyahadah.
لِيُعَرِّفَهُمْ عُلُوَّ مِقْدَارِهِ
عِنْدَهُ عَلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ. وَلِيُخْبِرَهُمْ أَنَّهُ لاَيَقْبَلُ مِنْ
عَامِلٍ إِلاَّ بِالتوَسُّلِ إِلَى اللهِ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
فَمَنْ طَلَبَ القُرْبَ مِنَ الله وَتَوَجَّهَ عَلَيْهِ دُونَ التَوَسُّلِ بِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَلَّ سَـعْيُهُ وَخَسِرَ عَمَلُهُ
Untuk memberitahukan kepada semua mukmin tentang ketinggian kedudukan
Rasulullah Saw disisi-Nya yang mengalahkan seluruh kedudukan makhluk lainnya.
Dan untuk mengkabarkan bahwa sesungguhnya amal seseorang tidak akan diterima,
kecuali bertawassul melalui Rasulullah Saw.
Maka, barang
siapa mencari jalan kedekatan kepada Allah dan cara menghadap kepada-Nya tanpa
bertawassul kepada (Rasulullah) Saw, maka tersesat jalannya serta sia-sia
amalnya.[17]
6.
Sebagai cetusan rasa cinta, rindu, menghormat, memulyakan (ikram), mengagungkan
(ta’dzim) dan kepada Rasulullah Saw.
Tentang mahabbah
kepada Rasulullah Saw yang dicetuskan dengan pengamalan shalawat, Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyah menjelaskan : [18]
أَنَّهَا سَبَبٌ لِدَوَامِ مَحَبَّتِهِ لِلرَّسُولِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزِيَادَتِهَا وَتَضَاعُفِهَا. وَذَالِكَ عَقْدٌ مِنْ عُقُودِ
الإِيْمَانِ الَذِيْ لاَ يَتِمُّ إِلاَّ بِهِ. لأَنَّ العَبْدَ كُلَّمَا أَكْثَرَ
مِنْ ذِكْرِ المَحْبُوبِ وَاسْتِحْضَارِهِ
فِي قَلْبِهِ وَاسْتِحْضَارِ مَحَاسِنِهِ وَمَعَانِيْهِ
الجَالِيَةِ تَضَاعَفَ حُبُّهُ لَهُ وَتَزَايَدَ شَوْقُهُ إِلَيْهِ وَاسْتَوْلَى
عَلَى جَمِيْعِ قَلْبِهِ.
Sesungguhnya
(shalawat) menyebabkan cinta (mahabbah) seseorang kepada Rasulullah Saw
bertambah-tambah dan berlipat ganda (meningkat). Hal ini (cinta) merupakan
bagian yang sangat penting dari iman. Yang mana iman tidak akan sempurna tanpa
cinta. Karena setiap seseorang banyak mengingat kekasihnya, menghadirkannya
dalam hatinya, mengingat kebaikannya yang jelas, maka dapat meningkatkan
kecintaan pada kekasih, serta rasa rindu kepada kekasih semakin bertambah
dalam, dan kecintaan telah akhirnya akan menguasai hati.
كُلُّ مَنْ أَمَنَ بِالنَّبِي صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْمَانًا صَحِيْحًا
لاَ يَخْلُو عَنْ
وِجْدَانِ شَيْئٍ مِنْ تِلْكَ المَحَبَّةِ الرَاجِحَةِ غَيْرِ
أَنَّهُمْ مُتَفَاوَتُوْنَ. فَمِنْهُم ْمَنْ أَخَذَ مِنْ تِلْكَ المَرَتَّبَةِ
بِالحَطِّ الأَوْفَى وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَ بِالحَطِّ الأَدْنَى كَمَنْ كَانَ
مُستَغْرِقًا فِي الشَهَوَاتِ مَحْجُوبًا فِي
الغَفْلاَتِ. وَلَكِنّ
الكَثِيْرَ مِنْهُمْ إِذَا ذُكِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم إِشْتِقَاقُ إِلَى رُؤْيَتِهِ
Setiap orang
yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dengan iman yang sebenarnya, (hatinya) tidak
pernah hampa dari memperoleh hasil rasa cinta kepada rasul. Hanya saja
kecintaan mereka kepada Nabi Saw berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang
cintanya telah mencapai tingkat yang tinggi. Dan sebagian mereka hanya mencapai
tingkat yang rendah, karena masih tenggelam dengan hawa nafsunya, serta hati
mereka tertutup dengan kealpaan. Tapi, sebagian besar mereka ketika disebut
nama Rasulullah Saw, maka hasrat dan rindu mereka untuk bertemu dengan
Beliau Saw sangat besar.
7.
Menghindari ancaman dan murka dari Allah Saw.
Terdapatnya
ancaman celaka bagi orang yang tidak tidak bershalawat kepada Rasulullah Saw
ketika menyebut atau mendengar asmanya :
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Sangat buruk wajah seseorang
yang nama-ku disebut disisinya kemudian ia tidak bershalawat kepada-ku. [20]
مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ فَقَدْ
شَقِيَ.
Seseorang yang nama-ku
disebut disisinya, kemudian tidak bershalawat kepada-ku, maka ia niscaya
celaka.[21]
8.
Agar mukmin menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara antara Allah
Swt dan mahluk-Nya. Diterangkan oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh an-Nabhani Ra
: [22]
إِشْتِغالُ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ هُوَ الوَاسِطَة بَيْنَ اللهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى وَبَيْنَ العِبَادِ وَجَمِيْعِ النِعَمِ الوَاصِلَةِ إِلَيْهِمْ التِي
أَعْظَمَهَا الهِدَايَةُ الاِسْلاَمُ. إِنَّمَا هِيَ بِبَرَكَتِهِ وَعَلَى
يَدَيْهِ
Agar hati tersibukkan
dengan haq Nabi Muhammad Saw. Sebab Beliau merupakan perantara (media) antara
Allah Swt dan hamba-Nya dalam seluruh nikmat yang sampai kepada mahluk, yang
mana hidayah Islam merupakan nikmat yang paling agung. Sesungguhnya (seluruh
nikmat yang diterima) adalah sebab berkah dan jasa dari Rasulullah Saw.
Dengan demikian, merupakan pendapat
yang salah, jika seseorang mengatakan; bahwa ridla Allah Swt dapat diperoleh
tanpa melalui Rasulullah Saw. Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Imam Shawi Ra
menjelaskan :
فَمَنْ زَعَمَ
أَنَّهُ يَصِلُ اِلَى رِضَا اللهِ بِدُونِ اتِّخَاذِهِ صَلَّى الله عليه وسلم وَاسِطَةً
وَوَسِيْلَةً بَيْنَهُ وَبيْنَ الله تعالى ضَلَّ سَعْيُهُ وَخَابَ رَأْيُهُ
Barang siapa memiliki
anggapan, bahwa sesungguhnya dirinya dapat wushul sampai kepada ridha Allah tanpa menjadikan
Rasulullah Saw sebagai penengah dan wasilah antara dirinya dan Allah Swt, maka
tersesatlah jalannya dan merugikan pendapatnya itu (kepada orang lain).[23]
9.
Untuk memudahkan memahami keberadaan Syeh Kamil Mukammil (Ghauts Hadzaz
Zaman Ra).
Didalam redaksi
shalawat pada umumnya, terdapat makna pencurahan shalawat kepada keturunan Junjungan
kita Nabi Muhammad = وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ. Makna dari kata “aali/ anak keturunan” –
sebagaimana penjalasan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Ghani an-Nablusi Ra –
adalah :
وَهُمْ العَارِفُونَ الكَامِلُونَ مِنْ أَهْلِ الاجِتِمَاعِ
الرُّوحَانِي وَاللقَاءِ الجَسْمَانِي.
Mereka
adalah orang-orang yang makrifat (kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw) yang sempurna
dari kalangan orang-orang yang bersama (Rasulllah) secara ruhani dan pertemuan
tersebut secara jasmani.[24]
Dengan
berdasar beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw,[25]
kata “aalu” dalam redaksi shalawat, mengisyaratkan adanya Syeh Arif Yang Kamil
Mukammil dalam setiap waktu. Dan shalawat jika diamalkan dengan sesuai aturan
adab yang berlaku, dapat digunakan untuk mencapai derajat Ghautsiyah, serta
dapat digunakan untuk mengetahui dan memahami keberadaan al-Ghauts Ra. Karena
sebagai wakil dari Rasulullah Saw, sudah tentu jalan yang paling mudah untuk
memahami keberadaanya, melalui
pengamalan shalawat dengan diniatkan untuk mencari dan memahami keberadaanya.
Sehubungan makna kata
“aali” – sebagaimana penjelasan Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dalam
bershalawat, Mbah Yai Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah
memohon kepada Allah Swt, agar manfaat shalawat Wahidiyah dapat digunakan untuk
mencapai derajat “ghautsiyah” bagi salah satu orang dari sekian banyak pengamal
Wahidiyah, serta dapat digunakan untuk memahami dan melaksanakan rabithah kepada al-Ghauts Hadzaz Zaman Ra oleh pengamal
wahidiyah lainnya serta ummat dan masarakat. Dan kemudian Beliau Qs wa Ra,
mencantumkan doa rabithah [26]
tersebut dalam redaksi Shalawat Wahidiyah.
يَأَيُّهَا الغَوثُ سَلاَمُ اللهِ عَلَيْكَ رَبِّنِي بِإِذْنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَيِّدِي
بِنَظرَةٍ مُوْصِلَةٍ لِلْحَضْرةِ
العَلِيَّةِ
Duhai Ghaus, salam Allah kepadamu. Bimbinglah aku
dengan izin Allah. Sinarilah aku, duhai pimpinanku, dengan radiasi batin yang
mengantarkan aku kepada Tuhan Dzat Yang Maha Tinggi.
C.
Redaksi Shalawat.
Selain dapat mempermudah
terkabulnya doa kepada Allah Swt, shalawat juga sebagai sarana untuk penjelas, dan sekaligus untuk mengetahui
dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw disisi-Nya secara musyahadah.
Dan untuk mencapai tujuan seperti
diatas (pemahaman kedudukan Rasulullah Saw secara musyahadah), serta dengan menyertakan
redaksi shalawat yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw (maktsurah), para
ulama Arif Billah menyusun redaksi shalawat yang disertai kalimah-kalimah yang
menerangkan tentang kebesaran dan kedudukan Rasulullah Saw yang telah tertulis
dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis.
Jumlah seluruh
susunan shalawat yang disusun oleh para ulama, paling tidak mencapai 12000
shalawat, bahkan tidak terhitung. Dan susunan redaksi shalawat yang paling
baik, jika didalamnya menyebutkan pemberian shalawat juga ditujukan kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya.[27]
Secara garis pokok redaksi shalawat
kepada Nabi Muhammad Saw, dapat dikelompokkan kedalam dua bagian :
1.
Shalawat MAKTSURAH.
Shalawat jenis ini
redaksinya disusun oleh Rasulullah Saw, yang berfungsi sebagai petunjuk inti
dan utama dari makna dan tujuan seluruh shalawat. Jumlah shalawat jenis ini
sekitar 100 shalawat lebih.
Shalawat jenis ini
redaksinya disusun oleh selain Rasulullah Saw (shahabat, tabi’in atau para
ulama), yang berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dari
makna, fungsi dan tujuan shalawat MAKTSURAH.
Dengan pemahaman tentang pembagian redaksi shalawat
secara demikian, maka kurang tepat jika antara kedua jenis shalawat (maktsurah
dan ghairu maktsurah) tersebut diperbandingkan keutamaannya. Misalkan
saja, dipertanyakan; Manakah
yang lebih utama antara
mengamalkan shalawat maktsurah atau ghairu maktsurah
?.
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang kurang tepat. Mengapa demikian ?.
Para ulama yang menyusun redaksi shalawat GHAIRU
MAKTSURAH bukan bertujuan menandingi shalawat maktsurah. Akan tetapi bertujuan
memperjelas makna dan tujuan yang terkandung dalam shalawat MAKTSURAH. Hingga
dengan mengamalkan dan memahami makna yang terkandung dalam shalawat GHAIRU
MAKTSURAH, seseorang dapat memahami tujuan dan maksud dari shalawat MAKTSURAH
yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain pengamal shalawat GHAIRU
MAKTSURAH, berarti telah mengamalkan perintah Allah Swt yang terdapat dalam
ayat shalawat (Qs. al-Ahzaab : 56) dan hadis tentang shalawat.
Menjabarkan shalawat maktsurah dengan menyusun shalawat
ghairu maktsurah, merupakan realisasi dari anjuran Rasulullah Saw. HR Imam Muslim, Beliau Saw bersabda : [29]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ.
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat
sunnah (dalam Islam dengan sunnah yang
baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah
tersebut sesudahnya dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun.
Dan siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka
baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Kurang tepatnya jika memperbandingkan keutamaan antara
dua jenis shalawat tersebut (dengan tanpa melihat uraian kandungan yang
terdapat dalam redaksinya), sama halnya tidak tepatnya jika memperbandingkan
keutamaan dan pengamalan antara surat al-fatihah dengan surat-surat lainnya
dalam al-Qur’an. Sebab surat al-fatihah merupakan inti dari makna dan kandungan
al-Qur’an. Sedangkan surat-surat lainnya merupakan penjabaran dan penjelasan
dari surat al-fatihah. Dan, jika dipertanyakan lebih utama mana membaca atau
mengamalkan makna surat al-Fatihah dengan surat-surat lainnya (misal, surat
Yasin, al-Baqarah, al-Waqi’ah, ayat kursi atau yang surat dan ayat lainnya) ?.
Pertanyaan ini juga tidak perlu dicarikan jawaban. Karena pertanyaan ini
merupakan PERTANYAAN YANG TIDAK TEPAT. Demikian pula, merupakan pertanyaan yang
kurang tepat, jika antara mempelajari al-Qur’an dan mempelajari penjelasannya
(misalnya; mempelajari hadis Nabi Saw, ilmu fiqh, ushulil fiqh, atau
kitab-kitab agama yang lain) diperbandingkan keutamaannya. Masing-masing
memiliki tujuan dan hikmah yang terkandung didalamnya.
Pertanyaan yang membandingkan keutamaan antara ketiga
permasalahan tersebut diatas, tidak mungkin muncul selama seseorang dapat
memahami makna, fungsi dan tujuan al-Qur’an atau tujuan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw. Para ulama (kaum sufi dan waliyullah
Ra)
telah menfatwakan; bahwa mengamalkan shalawat jenis pertama atau jenis kedua,
berarti mengamalkan perintah Allah Swt tentang bershalawat kepada Rasulullah
Saw.
إِنَّ الصَلاَةَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ كَانَتْ مِنْ صِيَغِ
المَأْثُورَةِ أَوْ غَيْرِهَا يَسْتَحِقُّ الأتِيْ بِهَا الأجْرَ
المَوْعُودَ الوَارِدَ فِيْ الأَحَادِيْثِ
Sesungguhnya shalawat dengan susunan redaksi jenis manapun,
baik redaksi yang maktsurah maupun yang ghairu (tidak) maktsurah, pengamalnya
berhak mendapat pahala sebagaimana yang dijanjikan dan yang berlaku dalam hadis
(Nabi Saw).[30]
Pendapat yang
masyhur mengatakan bahwa jumlah redaksi shalawat MAKTSURAH lebih dari 100
c.1. Redaksi
Shalawat Maktsurah
shalawat. Dan oleh Rasulullah Saw shalawat tersebut
tidak diberikan nama. Kemudian untuk membedakan antara shalawat maktsurah yang
satu dengan lainnya, para ulama memberikan nama [31] yang disesuaikan dengan
kata-kata atau makna yang terkandung didalamnya.
Nama-nama shalawat MAKTSURAH yang diberikan oleh para ulama,
antara lain shalawat Ibrahimiyah, shalawat Umm, shalawat Ainul Waujud dan lain
sebagainya.
1.
Shalawat Ibrahmiyah.
Nama
Ibrahimiyah diambil karena didalam
redaksi shalawat tersebut terdapat
penjelasan bahwa
shalawat Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, (paling tidak)
setara dengan pemberian shalawat dan kesejahteraan-Nya yang diberikan kepada
Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
Shalawat
Ibrahimiyah – sebagaimana kesepakatan para ulama - merupakan penjelas utama dan pokok
tentang makna, maksud dan tujuan shalawat yang diperintahkan oleh Allah Swt
dalam ayat 56 surat al-Ahzaab. Artinya bentuk shalawat (berkah dan salam) Allah
Swt yang dicurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, (paling tidak) seluas dan
sebanyak shalawat-Nya yang dicurahkan kepada Nabi Ibrahim As beserta
keturunannya. Sebab kepada Rasulullah Saw, Allah Swt senantiasa bershalawat,
sedangkan kepada Nabi Ibrahim As, Allah Swt bershalawat hanya saat itu saja.
Dengan demikian, jika terdapat susunan shalawat ( صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:
Allah telah bershalawat dan bersalam kepadanya [Nabi Muhammad]
atau dengan redaksi lain, yang tanpa disertai redaksi كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
: sebagaimana Engkau (Allah) bershalawat kepada Nabi Ibrahim), maknanya
tetap terkandung bahwa shalawat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw
sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Ibrahim As beserta keluarganya.
Redaksi shalawat Ibrahimiyah yang diajarkan oleh Rasulullah
Saw tidaklah hanya satu redaksi saja, akan tetapi banyak macam-macam redaksi.
Dan jika dipahami secara sekilas macam-macam redaksi tersebut, tampak hampir
berlainan kandungan maknanya. Namun, para ulama mengatakan; bahwa perbedaan
tersebut bersifat bahasa saja bukan pada esensi makna. Karena antara shalawat
Ibrahimiyah yang satu dengan lainnya, sifatnya sebagai penjelas makna kepada
redaksi shalawat MAKTSURAH secara umumnya. Dan pula hukum pengamalan shalawat
ibrahimiyah yang satu dengan shalawat ibrahimiyah lainnya adalah sama. Artinya
secara umum, tidak ada yang lebih utama diantara beberapa macam shalawat
ibrahimiyah tersebut, maupun redaksi shalawat maktsurah lainnya.
Bermacam-macam redaksi shalawat Ibrahimiyah
yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Misalnya, antara lain :
a)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.
Ia berkata : Kami bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana cara bershalawat
kepadamu ?. Beliau Saw menjawab : Katakanlah:
أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد
كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إبْرَهِيْمَ وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ. وَالسَلاَمُ كَمَاقَدْ عَلِمْتُمْ.
Ya Allah
sampaikan shalawat-Mu
kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, dan berkahilah Nabi
Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau bershalawat kepada
keluarga Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Sedangkan salam (kepada-Ku) kamu semua telah
mengetahuinya. [32]
Redaksi shalawat diatas terdari dari :
-
Penyempurnaan pemberian shalawat
dengan pemberian barakah.
-
disertai pujian kepada Allah
Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ = Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).[33]
-
penyataraan shalawat yang
diterima oleh Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As
dan keluarganya.
b)
Diriwayatkan dari sahabat Abu
Mas’ud Ra (bukan Ibnu Mas’ud).[34] Ia berkata : Suatu
hari Rasulullah Saw mendatangi kita. Sedang kita dalam majlis Sa’ad bin Ubadah.
Dan Basyir bin Sa’ad bertanya kepada Rasulullah Saw : [35]
قَدْ أَمَرَنَا اللهُ أَنْ نُصَلِّي عَلَيْكَ, فَكَيْفَ
نُصَلِّي عَلَيْكَ ؟ قَالَ : قُوْلُوا: أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَلِ مُحَمَّدكَمَاصَلَّيْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَالسَلاَمُ
كَمَاقَدْ عَلِمْتُمْ.
Sungguh
Allah telah memerintahkan kepada kita agar bershalawat kepadamu.Bagaimana cara
kami bershalawat kepadamu ?. Beliau Saw bersabda : katakanlah : Allahumma
shalli ,alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa aali
Ibrahima, wa baarik ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad kamaa barakta ‘alaa
aali Ibrahim : Ya Allah sampaikan
shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad,
sebagaimana Engkau bershalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim. Dan berkahilah
Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau memberkahi kepada
keluarga Nabi Ibrahim. Sedangkan salam (kepada-Ku) kamu semua telah
mengetahuinya. [36]
Redaksi shalawat diatas terdiri dari :
-
tanpa disertai pujian kepada
Allah Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد = Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
-
penyetaraan pemberian shalawat
dan barakah-Nya kepada Nabi Muhammad Saw bukan sebgaimana yang
diberikan kepada Nabi Ibrahim As (عَلَى إبْرَهِيْمَ
= kepada Nabi Ibrahim), tetapi hanya sebagaiman kepada keluarga dan
keturunan Nabi Ibrahim (Nabi Ishaq dan Nabi Ismail serta keturunannya).
c)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudzriy ra. Ia berkata : Kami bertanya : Wahai Rasulullah, salam
kepadamu kami semua telah mengetahuinya. Dan bagaimana cara kami bershalawat
kepadamu ? :[37]
قَالَ : قُوْلُوا أَللهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ
Rasulullah
bersabda : Ucapkanlah : (Allahumma shalli ‘alla Muhammad ‘abdika wa
rasuulikakamaa shallaita ‘alla Ibrahima wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali
Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahiim) = Ya Allah
sampaikanlah shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu
sebagaimana Engkau bershalawat kepada Nabi Ibrahim. Dan berkahilah Nabi
Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada
keluarga Nabi Ibrahim.
Redaksi
shalawat diatas terdiri dari :
-
tanpa disertai puji-pujian
kepada-Nya (إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْد = Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia, atau kalimat
pujian lainnya).
-
tambahan penjelasan tentang
sifat dan kedudukan Rasulullah Saw yang terpuji, yakni kata “abdika” dan
“rasuulika” (عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ).[38]
-
pemberian shalawat setara
dengan Nabi Ibrahim As. Sedangkan, berkah setara bukan dengan Nabi Ibrahim As,
tetapi hanya dengan keluarganya.
يَارَسُولَ اللهِ كَيْفَ الصَلاَةُ عَلَيْكَ ؟. قَالَ : صَلُّوا وَاجْتَهَدُوا, ثُمَّ قُوْلُوا
: أَللهُمَّ َبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Wahai
Rasulullah, bagaimana bershalawat kepadamu ?. Jawab Rasulullah : Bershalawatlah
kalian dan bersungguh-sungguhlah, kemudian katakanlah : Allahumma
baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali
Ibrahima innaka hamiidun majiid = Ya
Allah berkahilah Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau
memberi berkah kepada keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia.[40]
Hadis diatas menjelaskan redaksi shalawat terdiri dari :
-
Tanpa
adanya kejelasan penggunaan redaksi shalawat yang tertentu. Dan hanya
menguatkan permohonan shalawat dengan permohonan barakah.[41]
-
disertai puji-pujian kepada Allah
Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ).
-
pemberian barakah tidak disetarakan
kepada Nabi Ibrahim As (عَلَى إبْرَهِيْمَ), akan tetapi
hanya kepada keluarga Nabi Ibrahim As (عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ)
saja.
Dari beberapa shalawat Ibrahimiyah diatas, dapat
disimpulkan :
1)
Meskipun dalam redaksi
shalawat, antara menyebutkan atau tidak tentang pujian kepada Allah Swt,
artinya tetap sama. Yakni bahwa didalam bershalawat kepada Nabi Saw sudah
terkandung makna menyanjungkan pujian kepadaAllah Swt.
2)
Meskipun penyetaraan pemberian
shalawat dalam redaksi shalawat ibrahimiyah berbeda-beda antara satu dengan
lainnya, namun makna pemberian shalawat Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw
tetap sebagaimana pemberian-Nya kepada Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
2.
Shalawat Umm.
Dinamakan shalawat Umm, karena didalam redaksinya terdapat
kata الأُمِّيّ/
al-Ummiy : yang tidak dapat
membaca dan menulis, namun memiliki pikiran sangat cerdas. Sifat ummiy ini
menunjukkan apa yang dibawa oleh Nabi Saw bukan dari hasil dari kesimpulan
berpikir, akan tetapi wahyu dari Allah Swt.
Didalam hadis diterangkan bahwa banyak macam redaksi
shalawat Umm yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Macam-macam redaksi tersebut
antara lain :
a)
Diriwayatkan dari sahabat Abi
Mas’ud. [42] Ia berkata : Seseorang menghadap kepada Rasulullah Saw dan
duduk disampingnya, sedangkan kami berada disampingnya pula. Dan lelaki itu
bertanya :
يَارَسُولَ اللهِ أَمَّا السَلاَمُ عَلَيْكَ قَدْ عَرَفْنَا, فَكَيْفَ
نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا فِي صَلاَتِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ
؟. قَالَ : فَصَمَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ
يَسْأَلْهُ. فَقَالَ : إِذَا أَنْتُمْ
صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُوْلُوا : أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبْيِّ
الأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى
إِبْرَهِيْمَ وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ النَّبْيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَهِيْمَ
وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ فِي العَلَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَالسَلاَمُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ.
Duhai Rasulallah, tentang salam kepadamu kami semua telah
mengetahuinya. Bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ketika kami ingin
bershalawat kepadamu?. Abu Masud berkata : Rasulullah Saw diam,
hingga kami merayu laki-laki tersebut untuk tidak bertanya kepada Beliau lagi. (Rasulullah)
bersabda : ketika kalian bershalawat kepadaku : Katakanlah : Allahumma shalli ‘alaa Muhammad
an-Nabiyyi al-Ummiyyi wa ’alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa Ibrahima wa
aali Ibrahima innaka hamiidun majiid, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ’alaa aali
Muhammad kamaa barakta ‘alaa Ibrahima wa aali Ibrahima fil ‘alamiina innaka
hamiidun majiid = Ya Allah sampaikan
shalawat-Mu kepada Muhammad Nabi yang Ummi dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau bershalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad
dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga
Ibrahim. Didalam alam semesta ini, sesungguhnya Engkau Dzat Maha Terpuji lagi
Maha Mulya. Sedangkan salam (kepadaku) kamu semua telah mengetahuinya.[43]
Redaksi shalawat um diatas terdiri dari :
-
diserati pujian kepada Allah Swt
(فِي العَلَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ = Didalam alam
semesta, sesungguhnya Engkau Dzat Maha Terpuji lagi Maha Mulya).
-
Penguatan makna shalawat dengan
permohonan barakah.
-
penambahan kata an-Nabiy
dan Ummiy (النَّبْيِّ
الأُمِّيِّ = Nabi yang tidak bisa membaca
dan menulis, namun sangat cerdas).
-
penyetaraan pemberian shalawat
sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As dan keluarganya. [44]
b)
Shalawat Umm yang
terangkum dalam redaksi doa qunut.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى (سَيِّدِنَا) مُحَمَّدٍ النَبِيِّ الأُمِّيِّ
وَعَلَى آَلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارَكَ وَسَلَّمَ
Allah telah bershalawat,
memberi barakah dan memberi keselamatan kepada (Pimpinan kami) Nabi Muhammad
yang menjadi Nabi dan yang Ummi, dan kepada keluarga dan sahabatnya.
Redaksi shalawat diatas terdiri dari :
-
Penguatan makna shalawat dengan permohonan
barakah dan salam.
-
terdapat penambahan kata an-Nabiy
dan Ummiy setelah kata Muham-
tanpa disertai pujian kepada
Allah Swt.
-
tanpa adanya redaksi
penyetaraan pemberian shalawat sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As
dan keluarganya.
Meskipun
terdapat macam-macam redaksi Shalawat umm yang diajarkan oleh Rasulullah
Saw, namun keutamaan pengamalannya dan makna yang terkandungan didalamnya
antara redaksi satu atau lainnya, tetap sama. Tidak ada redaksi yang lebih
utama dan mengalahkan yang lain. Karena diantara tujuan pengamalan shalawat
adalah untuk memahami kedudukan dan keberadaan Beliau Saw ditengah-tengah
kehidupan makhluk. Sebagaimana makna yang terkandung dalam redaksi shalawat umm
diatas, yang mana Rasulullah Saw memperjelas tantang tujuan bershalawat dengan
penambahan dan penjelasan jabatan Beliau Saw, yakni seorang nabi dan
yang sekaligus yang ummiy.
3. Shalawat ‘Ainul Wujud.
Susunan redaksi shalawat Ainul Wujud, antara lain
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw (shal\awat maktsurah) : [45]
اللهمَّ
صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى
جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي الأَنْوَارِ وَعَلَى
قَبْرِ مُحَمَّدٍ فِي القُبُورِ
Ya Allah
sampaikan shalawat-Mu kepada jiwa Nabi Muhammad yang ada dalam banyak
(saeluruh) jiwa, kepada jasad Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (seluruh)
jasad, kepada cahaya Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (segala) cahaya dan
kepada kubur Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (seluruh) kubur.
Dalam
redaksi shalawat diatas, Rasulullah Saw menjelaskan tentang keberadaan dan
kadudukannya ditengah-tengah kehidupan ummat manusia. Penambahan dan penjelasan
keberadaannya oleh Rasulullah Saw sendiri, dapat memberikan pemahaman tujuan
shalawat. Yakni sebagai jalan untuk memahami keagungan serta kemulyaan
kedudukan Rasulullah Saw. Dan karenanya, memberikan inspirasi kepada para ulama
untuk mengulas dan menambah sifat-sifat lain (seperti al-Hadi/ pembawa
hidayah, as-Syafi’/ penolong ummat, al-Mushtafa/ terpilih,
al-Habib/ paling dikasihi Allah Swt, al-Jami’/ pengumpul ummat,
dan sifat lainnya) yang dimiliki oleh Rasulullah Saw, didalam redaksi SHALAWAT
MAKTSURAH. Dan karenanya, setelah adanya penambahan redaksi tersebut, maka
SHALAWAT MAKTSURAH berubah menjadi shalawat GHAIRU MAKTSURAH.
Didalam kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir
Jailani Ra, dalam juz I pada “kitab haji” bab 8, diterangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda
: Barang siapa yang mengucapkan shalawat (ainul wujud) : [46]
اللهمَّ صلِّ
على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ
وَعَلَى نُورِ .... إلخ
Dan dalam hadis
hadis dengan redaksi lain, diceritakan bahwa
Rasulullah Saw bersabda : [47] Barang siapa membaca shalawat :
اللهمَّ
صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ
وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي الأَنْوَار....., رَأَنِي فِي مَنَامِهِ وَرَأَنِي
يَومَ القِيَامَةِ, وَمَنْ رَأَنِي يَومَ القِيَامَةِ شَفَّعْتُ لَهُ وَمَنْ
شَفَّعْتُ لَهُ شَرِبَ مِنْ حَوضِي وَحَرَمَ اللهُ جَسَدَهُ فِي النَارِ
akan melihat aku dalam tidurnya dan pada hari
kiamat. Dan barang siapa yang melihat aku dihari kiamat, maka Aku akan
memberikan syafaat kepadanya. Dan barang siapa yang Aku mensyafaatinya, maka ia
akan minum telagaku dan Allah mengharamkan jasadnya dalam neraka.
Dalam rangkaian SHALAWAT WAHIDIYAH, terdapat makna yang
semakna dengan shalawat Ainul Wujud tersebut. Yakni shalawat tsaljul quluub, dengan
disertai redaksi pengakuan/ kesadaran diri yang senantiasa berlumuran dosa,
sangat mengharapkan doa restu dan syafaat Rasulullah Saw. Redaksi
shalawat tersebut :
يَاشَافِعَ الخَلْقِ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ عَلَيْكَ نُورَ الخَلقِ هَادِيَ الأنَام
وَأَصْـلَهُ وَرُوْحَـهُ أَدْرِكْنِي فَقَـدْ
ظَلَمْـتُ أَبَدًا وَرَبِّنِي
وَلَيْسَ لِي يَاسـيدِي سِـوَاكَ فَإِنْ تَرُدَّ كُنْتُ شَخْصًا هَالِكً
Wahai Nabi Pemberi syafaat mahluk, shalawat dan salam (Allah) kepadamu.
Engkau Cahaya mahluk, Pembawa hidayah manusia, Asal seluruh mahluk, dan Jiwa
mahluk, maka temuilah kami. Sungguh kami senantiasa berbuat dzalim. Bimbinglah
kami.Tidak ada yang dapat memberi syafaat kepadaku, duhai Pimpinanku, selain
engkau. Dan sekiranya aku engkau tinggalkan, niscaya aku hancur binasa. [48]
Dan alhamdulillah – sebagai tahaddus binni’mah – dengan
bimbingan Beliau Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra, setelah mengamalkan shalawat
tsaljul qulub ini, mendapatkan ketenangan jiwa dan mudah ingat Allah Swt serta
mudah melihat aib dan dosa diri. Sehingga bertambah rasa malu dan takut kepada
Allah Sw.
c.2. Redaksi Shalawat Ghairu Maktsurah.
Perubahan yang
menuju penjabaran merupakan fitrah. Seperti perubahan dari pokok
permasalahan kepada rincian atau sub pokok, dari mikro
kepada makro, dari juz’iyah kepada kulliyah. Demikian
pula, perubahanan dari shalawat SHALAWAT MAKTSURAH kepada SHALAWAT GHAIRU
MAKTSURAH.
Perubahan dari shalawat MAKTSURAH kepada GHAIRU MAKTSURAH, yang
dilakukan oleh para ulama yang ahli, merupakan realisasi dari perintah
Rasulullah Saw, sebagaimana keterangan
dalam beberapa hadis Rasulullah Saw.
Jumlah shalawat GHAIRU MAKTSURAH paling tidak mencapai
12000 redaksi, bahkan tak terhitung dan hanya Allah Swt yang mengetahuyinya.
Untuk membedakan antara redaksi yang satu dengan lainnya, para ulama memberikan
sebuah nama. Nama tersebut terkadang diambil dari nama muallifnya, seperti
shalawat MASYISYIYAH (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Izzudin Abdissalam al-Masyisy
Ra), shalawat BADAWIYAH (al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Ahmad al-Badawi Ra) dan shalawat lainnya. Dan ada yang diberi
nama berdasar kandungan makna yang terdapat didalamnya, seperti shalawat
NARIYAH, shalawat WAHIDIYAH dan lainnya.
c.2.1. Nama-Nama Shalawat Ghairu Maktsurah.
Shalawat ghairu maktsurah yang dita’lif oleh para
sahabat Nabi Saw, tabi’in dan ulama Arif Billah (diantaranya, mereka ada yang
menjabat sebagai Sulthanul Auliya’ Ra).
Shalawat Ghairu Maktsurah tersebut, antara lain :
6)
Shalawat yang ditaklif oleh
Imam Syafi’i Ra. Shalawat ini tidak diberi nama baik oleh Imam Syafi’i (sebagai
muallif) atau oleh ulama sesudahnya. [54]
7)
Shalawat yang dita’lif oleh
Imam Thabrani. Shalawat ini tidak diberi nama baik oleh Imam Thabrani (sebagai
muallif) atau oleh ulama sesudahnya.[55]
14)
Shalawat Badar yang dita’lif
oleh Mahmud Sami’ al-Mishri (yang terkenal dengan nama al-Baruudiy (w. 1340 H).
15)
Shalawat Barazanji/ Maulidun Nabawi. Dita’lif oleh imam Masjid Nabawi diMadinah, Syeh Ja’far
al-Barazanji (w. 1177 H/ 1763 M).
Al-Fatihah ....... .
[1]. Sebagian ulama
mengartikan kata “salaam” dengan uluk salam (menyampaikan/ memberikan (kesejahteraan/
kedamaian). Dan sebagian ulama mengartikannya dengan berserah diri
(sebagai pengejawantahan berserah diri) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dan
kata tasliiman diartikan : penyerahan diri yang semestinya.
[2]. Imam Ibnu Hajar al-Haitami
dalam kitabnya ad-Durrul Mandlud, pada bahasan “rahasia shalawat”, menjelaskan
: Sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As, sebagai penghormatan dan
pengagungan kepada “Nur Muhammad Saw”, yang ada pada pribadi Nabi Adam
As.
[3]. Lihat kitab Afdlalus
Shalawat, pada pasal I dalam faedah
kedua.
[4]. Shalawat Allah Swt
kepada kepada mukmin adalah Allah Swt bertajalli melalui mereka. Sedangkan shalawat-Nya
kepada Rasulullah Saw, artinya Dia bertajalli secara khusus dan sempurna
melalui Nabi Saw, demikian penjelasan Imam al-Qusthalani Ra, yang dinukil dalam
kitab Afdlalus Shalawat karya Imam Nabhani Ra.
[5]. Diantara keagungan
Rasulullah Saw, adalah sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam
kitab ad-Durru al-Mandlud pada bahasan “makna shalawat” : Syeh Abu Bakar
al-Qusyairi (ulama ahli fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf) mengatakan; bahwa
shalawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan
mukmin terhadap kemulyaan dan keagungan Rasulullah Saw disisi Allah Swt.
[6]. Jika kita menggunakan
makna shalawat sebagaimana penjelasan Imam al-Qusthalani Ra, adalah
pemberiatahuan kepada mukmin bahwa Allah Swt bertajalli secara khusus kepada
Rasulullah Saw.
[7]. Sebagian ulama menamakan redaksi shalawat seperti
ini dengan shalawat “Mukhathab”.
[8]. HR. Razin Ibn Muawiyah
dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dalam penjelasan ayat 56 surat al-Ahzaab. Hadis yang
sepadan arti juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Umar bin al-Khatthab ra
(kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pada ulasan nomer
hadis : 41.
[9]. Dalam al-Adzkar-nya
Imam Nawawi, dan kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal ‘Iyadl
al-Yahshubi, dan dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim
al-Jauziyah, susunan redaksi hadis tidak menggunakan kata ghamr tapi
kata qadah : فَلاَ تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ
الرَاكِبِ فَاجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُعَاءِ وَأَوْسَطِهِ وَأَخِرِهِ :Janganlah kamu semua menjadikan Aku bagaikan gelasnya
pengendara (setelah dipakai kemudian diletakkan-pen).Maka,
jadikanlah aku pada awal, pertengahan dan akhir doa.
Hadis ini diperkuat lagi oleh,.
Sebagaimana tercermin dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi dari Umar bin
Khatthab Ra. Rasulullah Saw bersabda : أَشْرِكْنَايَاأَخِي فِي دُعَاءِكَ: Jadikanlah Aku (Rasulullah) sebagai kawan, wahai saudaraku, didalam do’amu. (kitab Dalil al-Faalihin dalam jilid II, pada bab “Ziyarah Ahlil Khair”, nh
: 14.
[10] HR. Abu Daud dari Abdullah
Ibn Amr (Sunan, nh :
523), Nasai (Amalul Yaum wal Lailah,
nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384).
Kitab Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[11]. Kitab Afdlalus Shalawat-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
an-Nabhaani Ra (w. 1933 M) pada pasal 4.
Dalam hadis
lain yang diriwayatkan oleh Muslim, diterangkan Rasulullah Saw adalah pemilik
maqam wasilah (maqam terdekat kepada Allah Swt). Barangsiapa dekat kepada Rasulullah Saw, maka
ia akan dekat kepada Allah Swt. Dan tidak ada jalan yang paling tepat untuk mendekat
kepada-Nya kecuali malalui Rasulullah Saw, demikian pendapat dari para ulama
Arif Billah.
Dinegeri
Yaman, sebagaimana penjelasan dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) bab “Sanadul
Qaum” -, tentang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan amalan
shalawat :
أَنَّ جَمَاعَةً بِبِلاَدِ اليَمَنِ لَهُمْ سَنَدٌ
بِتَلْقِيْنِ الصَلاَةِ وَالسَلاَمِ عَلَى
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ فَيُلَقِّنُونَ
المُرِيْدَ ذَالِكَ, وَيَشْغِلُونَ بِالصَلاَةِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ, فَلاَ يَزَالُ مِنْهَا حَتَّى يَصِيْرَ يَجْتَمِعَ
بِالنَبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً.
وَيَسْاَلُهُ عَنْ وَقَائِعِهِ كَمَا يَسْاَلُ المُرِيْدُ شَيْخَهُ فِي
الصُوفِيَةِ. وَأَنَّ مُرِيْدَهُمْ يَتَرَقَّي بِذَالِكَ فِي أَيَّامٍ قَلاَئِلَ.
وَيُسْتَغْنَى عَنْ جَمِيْعِ الأَشْيَاخِ بِتَرْبِيَتِهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَاَلِهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya
terdapat sekelompok orang dinegeri Yaman. Mereka memiliki sanad thariqah dengan
talqin (ijazah) shalawat kepada Rasululillah Saw. Mereka (GURU MURSYID)
mentalqin murid dengan talqin shalawat. Para murid menyibukkan diri dengan
shalawat kepada Rasulillah Saw. Mereka tidak henti-hentinya dengan shalawat
tersebut hingga dapat berkumpul bersama dengan Nabi Saw secara jaga dan tatap
muka. Mereka menanyakan kepada (Nabi Saw), tentang keadaan mereka sebagaimana
murid bertanya kepada Gurunya dalam ilmu tasawuf. Dan murid tersebut dapat naik
(keimanannya) dalam waktu sebentar. Dan para murid tidak membutuhkan Guru
Ruhani lagi, disebabkan mendapat pendidikan Rasulullah Saw.
[13]. Syeh Abdur Razaq adalah perawi hadis “Nur Muhammad”. Hadis ini
masyhur dalam kalangan kaum sufi dan waliyullah Ra. Sebagian ulama mutaakhirin
(seperti al-Albani, al-Afifi dkk) mempermasalahkan kredibel Abdur Razak.
Menurut mereka, dia tidak tsiqah (kurang dipercaya) dan lagi memiliki
pemikiran yang beraroma syiah serta mengalami kebutaan mata pada akhir
hayatnya. Dan karenanya, al-Albani mengikuti pendapat Ibnu Ma’in yang
menganggap hadis “Nur Muhammad” tidak dapat dijadikan hujjah, Namun, mayoritas
ulama ahli hadis (Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Nasai dan
lainnya) menilai tsiqqah (terpercaya) terhadap Abdur Razak. Mereka
menjadikannya sebagai sanad dalam hadis yang diriwayatkannya. Demikian pula,
ulama hadis seperti, Abu Zur’ah, Imam Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnul Qayyim
al-Jauziyah, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan ulama hadis lainnya mengatakan beliau
adalah tsiqqah. Dan hadis riwayatnya dapat dijadikan hujjah, selama
tidak bertentangan dengan hadis yang shahih.
Dan kami dari Yayasan Perjuangan
Wahidiyah mengikuti ulama yang memandang Syeh Abdur Razaq sebagai perawi yang tsiqqah
(terpercaya). Untuk lebih jelasnya, lihat buku “Materi Upgrading Dai Wahidiyah”,
jilid III yang diperuntukkan bagi dai/ daiyah Wahidiyah tingkat propinsi.
[15]. Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah.
Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (Lihat kitab Jalaul
Afham, dalam bahasan sanad hadis diatas).
[16]. Keterangan
tentang tetap hidupnya para nabi, rasul dan syuhada’ disisi Allah Swt juga
dijelaskan dalam al-Qur’an : وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ
فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعَرُوْنَ. : Janganlah
kamu semua mengatakan kepada orang yang mati dalam jalan Allah (mengalami)
kematian. Akan tetapi, (mereka) tetap hidup. Sedangkan (akal) kamu semua tidak
dapat menjangkaunya (Qs. al-Baqarah : 154). Dan, وَلاَ تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا
فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ : Janganlah
kamu semua mengira kepada orang-orang yang gugur dijalan Allah (mengalami)
kematian. Akan tetapi, tetap hidup disisi Tuhannya, dan mereka biberi
rizki (Qs.
Ali Imran : 169).
Kebanyakan para sahabat, memiliki
iman yang kuat dan taslim kepada Rasulullah Saw, setelah mendapatkan pengalaman
ruhani, baik melalui ru’yah sahalihah atau lainnya, seperti ketangan batin. Demikian
penjelasan dalam beberapa hadis, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam
Baihaqi dalam kitabnya Dalail an-Nubuwah.
[19]. Kitab Jawaahir al-Bukhari, hlm : 22
– 23. Dan kitab Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari oleh Imam
Ibnul Hajar al-‘Asqalani, terbitan” Pustaka Azzam” Jakarta, cetakan ke 3, tahun Juli 2003 pada buku I, hlm : 98/ 99.
[20]. Hadis riwayat Imam
Tirmidzi dari Abu Hurairah, kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, nh : 345.
Imam Tirmidzi menjelaskan, hadis ini berderajat hasan dan shahih .
[21]. Kitab al-Adzkar-nya
Imam Nawawi, nh : 347.
[22] . Ibid, dalam bahasan
pertama. Dan dalam kitab ad-Durrul Mandlud-nya Imam Ibnu Hajar
al-Haitami Ra dalam bab “makna shalawat”, juga dijelaskan bahwa Imam Bukhari
mengatakan : shalawat bertujuan sebagai penghormatan kepada Rasulullah Saw.
[24]. Kitab Afdlalus
Shalawat-nya Syeh Nabhani, pada pasal I dalam tambih ketiga.
[25]. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam materi yang membahas “Ghautsiyah”
dalam “Materi Upgrading Dai Wahidiyah” ini pada jilid I, bab ajaran wahidiyah.
[26]. Rabithah adalah hubungan
ruhani antara salik atau murid kepada Guru Mursyid agar cepat sadar kepada
Allah Swt wa Rasulihi Saw.
[27]. Al-Ghauts
fii Zamanihi Imam Ahmad as-Shawi Ra dalam kitab tafsirnya juz III, tentang makna
firman Allah Swt (ayat tentang shalawat) Qs. al-Ahzaab : 56 yang menerangkan :
وصِيَغُ الصَلاَةِ عَلَى النَبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
كَثِيْرَةٌ لاَ تُحْصَى وَأَفضَلُهَا مَا ذَكَرَ فِيْهِ لَفْظُ الآل وَالصَحْبِ,
فَمَنْ تَمَسَّكَ بَأَيِّ صِغَةٍ مِنْهَا حَصَلَ لَهُ الخَيْرُ العَظِيْمُ.
Susunan redaksi
shalawat kepada Rasulullah Saw jumlahnya banyak sekali dan tak terhitung. Dan
paling utama-utamanya, adalah yang didalamnya disebutkan kata “aali” keluarga
dan “shahabat”. Barang siapa yang memegang shalawat redaksi jenis manapun dapat
berhasil memperoleh kebaikan yang agung.
[28]. Dalam
kitab Sa’aadah ad-Daraini Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bahasan
“shalawat ke 130”, dan pada bab “tanbih” kedua, menjelaskan bahwa :
مِنْهَا المَأْثُورُ عَنِ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
وَمِنْهَا غَيْرُ المَأثُورِ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مِمَّا هُوَ
مَرْوِيٌ عَنْ بَعْضِ الصَحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الأوْلِيَاءِ الكَرَامِ
وَالعُلَمَاءِ الأ عْلاَمِ
Diantara shalawat ada (shalawat) yang maktsurah dari Nabi Saw, dan
ada yang tidak maktsurah dari Nabi Saw yang diceritakan dari sebagian
sahabat dan orang-orang setelah mereka dari para wali yang mulya dan ulama yang
alim.
[29]. Kitab Riyadl as-Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini
juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr
dan Jarir Ibnu Abdullah Ra
[30]. Kitab Sa’aadah
ad-Daraini fis Shalaati alaa Sayyid al-Kaunanini (Syeh Yusuf an-Nabhani Ra) pada bab “shalawat
ke 130”, atau pada bab “tanbih ke 2”. Dan juga dalam Kitab Khazinah
al-Asraar, pada bab shalawat Nabi Saw.
[31]. Jika tidak
memahami makna sunnah dan bid’ah secara semestinya, kita akan mudah menuduh
sebagai pelaku bid’ah kepada ulama yang memberikan nama shalawat MAKTSURAH.
Karena memberikan nama kepada shalawat tersebut, merupakan hal baru, dan yang
tidak dilakukan pada zaman Rasulullah Saw.
[33]. Didalam kitab Jala’
al-Afham-nya Ibnul Qyyim al-Jauziyah pada pasal IX dijelaskan; bahwa makna
dari kata Hamiid / حَمِيْد : Dzat Yang Maha Terpuji. Makna kata “hamiid” lebih tinggi dari pada makna kata mahmuud
yang secara bahasa juga memiliki makna yang paling terpuji. Karena makna
“paling terpuji” dari kata mahmuud sebagai pengakuan dari selain
diri-Nya. Sedangkan dalam kata hamiid, yang bermakna “paling terpuji”
datangnya dari Diri-Nya dan makhluk-Nya. Sedangkan makana kata مَجِيْد/ Majiid, yang
bermakana Maha Mulya, lebih berkonotasi kepada keagungan dan
keperkasaan-Nya. Dan pula, pada akhir bahasan pasal IX, tentang disertakannya
kedua kata tersebut (hamiid dan majiid) dalam shalawat maktsurah, al-Jauziyah
menjelaskan :
لِيَكُونَ هَذَا الدُعَاءُ مُتَضَمِّنًا لِطَلَبِ الحَمْدِ وَالمَجْدِ لِرَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالإِخْبَارِ عَنْ ثُـبُوتِهِ لِلرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Agar doa (shalawat) menunjukan
muatan tentang permintaan kemulyaan dan keagungan kepada Rasulullah Saw, dan
yang mana diberitahukan bahwa petetapan sifat kemulyaan dan keagungan tersebut
adalah milik Allah Swt semata.
[34]. Namanya ‘Uqbah Ibn Amr al-Anshari
(w. 41 H).
[35]. Dalam kitab Jala’ al-Afham-nya
Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), nomer hadis (nh) : 01.
[36]. HR. Muslim (Shahih
Muslim, nomer hadis : 405), Imam Nasa’i (kitab Amalul Yaum wal Lailah
: nh : 50), Abu Daud (nh : 980), Tirmidzi (nh : 3220) dan dalam Sunan ad-Darimi (nh : 1349).
[37]. HR. Bukhari (Shahih Bukhari,
nh : 4798, 6358). Daan dalam Kiab Jala’ al-Afham, nh : 06.
[38]. Dalam shalawat
maktsurah tersebut, disebutkan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai “hamba” dan
“rasul”, yang merupakan inti sari kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt. Dan
agar muslim dapat memahami kedudukan rasul tersebut secara musyahadah, para
ulama mengulasnya dalam shalawat GHAIRU
MAKTSURAH. Serta pemahaman dari kedua kedudukan ini, lahirlah kesimpulan kaum
sufi tentang terdapatnya maqam “WAHIDIYAH” pada pribadi Rasulullah Saw.
[40]. HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal (Musnad,
nh : 1 : 199), dan dalam Sunan Nasai (3 : 48) namun dari
jalur Sa’id bin Yahya.
[41]. Dalam kitab Jala’
al-Afham-nya Ibnul Qayyim dalam pasal X, diterangkan :
أَنَّ المَقْصُودَ إِنَّمَا هِيَ
بِالتَعْبِيْرِ وَالمَعْنَى عَنْهُ بِعِبَارَةٍ مُؤَدِّيَةٍ لَهُ. فَإِذَا عَبَّرَ
بِإِحْدَى العِبَارَتَيْنِ حَصَلَ المَقْصُودُ.
Sesungguhnya yang dimaksud
(redaksi shalawat) adalah mengambil ta’bir (pengertian) dan maknanya dari
redaksi shalawat. Jika mengambil pengertian dari salah satu redaksi, maka
tercapailah maksud bershalawat.
[43]. HR. Ibnu
Khuzaimah (Shahih, nh : 711) dan al-Haakim (Shahih, 1 : 268), Abu
Daud (Sunan, nh : 981).
[44]. Makna dari kata “ummiy” menunjukkan bahwa ilmu yang dimiliki oleh
Rasululllah Saw bukan dari pembelajaran manusiawi, akan tetapi merupakan wahyu
dan ilham dari Allah Swt.
Penambahan
sifat UMMIY atau AN-NABI oleh Rasulullah Saw sendiri, memberikan pemahaman
tujuan shalawat adalah sebagai jalan untuk memahami keagungan serta kemulyaan
kedudukan Rasulullah Saw. Hingga memberikan inspirasi kepada para ulama untuk
mengulas dan menambah sifat-sifat lain (seperti al-Hadi/ pembawa hidayah,
as-Syafi’/ penolong ummat, al-Mushtafa/ terpilih, al-Habib/ paling
dikasihi Allah Swt, al-Jami’/ pengumpul ummat, al-Washil/ yang
menyampaikan hidayah-Nya kepada makhluk, dan sifat lainnya) yang dimiliki oleh
Rasulullah Saw, dalam redaksi SHALAWAT MAKTSURAH. Dan karenanya, setelah adanya
penambahan redaksi dari ulama yang ahli tersebut, maka SHALAWAT MAKTSURAH
berubah menjadi shalawat GHAIRU MAKTSURAH.
[45]. Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) mengatakan bahwa shalawat ainul
wujud tersebut termasuk shalawat maktsurah. Lihat kitab Sa’adah
ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bahasan shalawat ke 6.
[46]. Hadis diatas juga
diriwayatkan oleh al-Hafidz ad-Dimyathi dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah-nya,
yang kemudian dinukil dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1931 M), pada bahasan “shalawat ke 6”,
dalam ulasan ke 23.
[47]. Kitab ad-Durrul Munadhdham fii Maulidil
Mu’adhdham, yang dinukil dalam kitab Sa’adah ad-Daraini –nya
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1931 M) pada bahasan
“shalawat ke 1”, dalam ulasan ke 39 (shalawat maktsurah)
[50]. Kitab as-Syifa li
Ta’rif Huquq al-Mushthafa Saw-nya
Syeh Iyadl al-Yahshubi juz II pada bab 4 dalam pasal “cara bershalawat”. Kitab Majma’ az-Zawaid-nya al-Hafidz al-Haitsami
(10/ 245). At-Thabrani dalam Mu’jam
al-Ausath (9089).
Sayyidina Ali
Kw memiliki dua redaksi shalawat. Pertama, shalawat fatih yang didalam
redaksinya menjelaskan agak mendetail tentang kedudukan Rasulullah Saw dan
tugas yang diterima dari Allah Swt. Sedangkan redaksi lainnya menjelaskannya
secara global saja.
[51]. Shalawat Ibnu Abbas ra ini, juga dapat dilihat dalam tafsir
Imam Ibnu Katsir dalam ulasan ayat 56 surat al-Ahzaab.
[52]. Redaksi shalawat ini dapat dilihat dalam bab shalawat
ghairu maktsurah (pada bab ini juga pada bahasan berikutnya).
[53]. Lebih jelasnya lihat dalam kitab
Masaalik al-Hunafa’ (Imam al-Qusthalaani Ra) dan kitab Sa’aadah, pada
shalawat ke 12.
[54]. Sa’adah ad-Daraini, pada
shalawat ke 15.
[55]. Sa’adah ad-Daraini, pada
shalawat ke 16. Diterangkan pula, ketika Imam Thabrani mengamalkan shalawat ini
bermimpi bertemu dan melihat Rasulullah Saw dengan muka yang gembira ketika mendengarkan
shalawat tersebut.
[56]. Dita’lif oleh Syeh Muhyiddin Ibnu
Arabi Ra. Sa’adah ad-Daraini, pada shalawat ke 289
[57]. Dita’lif oleh al-Ghauts fii
Zamaanihi Syeh Abdus Salam Ibn Masyisy Ra (w.636 H). Afdlal as-Shalawat,
shalawat ke 43.
[58]. Dita’lif oleh
Imam Abu Abdullah Ibrahim Bushiri as-Syadzili al-Mishri (w. 696 H). Baliau
adalah murid dari al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Ra,
w. 709 H). Dan oleh al-Bushiri, shalawat ini dinamakan dengan “Kawakib ad-Durriyah”.
Sedangkan yang masyhur dengan nama “Qashidah al-Burdah”. Al-Bushiri,
ulama sufi yang ahli dalam bidang hadis dan sastra arab.
[60]. Kitab Khaziinah
al-Asraar dalam bahasan “shalawat”. Dalam kitab ini, diterangkan – sebagaimana penjelasan
dari Imam al-Qurthubi - bahwa shalawat Munjiyat ini telah masyhur serta
diijazahkan sejak pertengahan abat ke VII hijriyah, yakni pada masa Syeh Ibnu
Arabi Ra (w. 638 H).
BAB III
AJARAN WAHIDIYAH
Bahasan 1
Pengertian Ajaran Wahidiyah
A.
Pengertian
Wahidiyah.
1.
Syirik Dan
Tauhid
Membebaskan
jiwa manusia dari kemusyrikan merupakan visi dan missi perjuangan para
nabi dan rasul yang paling utama.
Dan perjuangan ini kemudian diteruskan oleh para waliyullah dan kuhususnya para
al-Ghauts Ra pada setiap zaman. Memahami
kedudukan Allah Swt Pencipta alam semesta dan posisi makhluk, merupakan garis
demarkasi (al-had al-fashil) antara tauhid dan syirik. Ketentuan sesat atau tidak terhadap iman seseorang,
ditentukan dalam pemahaman ini.
Syirik
adalah paham yang mengatakan bahwa Allah Swt memiliki pembantu atau sekutu
dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Dengan demikian paham
yang mengatakan, makhluk dengan dirinya sendiri dapat mendatangkan kemaslahatan
atau menolak kemadlorotan baik untuk dirinya atau untuk lainnya, merupakan
paham syirik. Misalkan saja, kita merasa dapat menolong kepada diri sendiri atau dapat menolong
keluarga dan orang lain dengan tanpa izin Allah Swt. Atau air
dengan dirinya sendiri (tanpa izin Allah Swt) dapat menghilangkan haus, menyegarkan tubuh, merebus
masakan, menghidupkan tanaman. Racun dengan dirinya sendiri, tanpa Allah dapat mendatangkan
kematian kepada manusia. Demikian pula dalam kasus kehidupan makhluk yang tanpa
izin-Nya tidak dapat memberikan manfaat kepada dirinya atau lainnya.
Dan,
al-Qur’an menerangkan, secara umum keimanan seseorang terhadap Allah Swt dan
kekuasaan-Nya, masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan-Nya dengan
makhluk). Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt , Qs. Yusuf : 106 :
وَمَايُؤْمِن أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ
اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
Dan
tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka
mempersekutukan-Nya.
Dan pula, kebanyakan manusia menganggap
rendah dan remeh terhadap nilai
dosa syirik, hingga tidak ada keinginan atau usaha
untuk membersihkannya. Padahal Allah Swt sangat benci dan murka jika Dia Azza wa Jalla
disekutukan dengan makhluk. Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika
seseorang mengambil makhluk (termasuk diri sendiri) sebagai penolong, dengan
anggapan datangnya pertolongan dari makhluk, bukan dari Allah Swt. Firman Allah
Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ
يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ
مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka mengambil
penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu
mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan
tidak memiliki akal?. Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya
kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
Allah Swt sangat murka dan merasa jijik
(najis) melihat mukmin yang hatinya berbuat syirik. Dan bila seseorang hatinya
telah mati, ia tidak memiliki rasa takut kepada-Nya meskipun sering berbuat
kemusyirikan, na’udzu billah. Rasulullah Saw
bersabda : [1] أَبْغَضُ إِلَهٍ
عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى : Sesembahan
dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.
Dan dalam ayat 28 surat at-Taubah, Allah Swt juga mengabarkan kebencian dan
kejijkan-Nya terhadap kaum musyrikin : يَأَيُّها
الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ : Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
Membersihkan
hati dari pemahaman syirik, merupakan fardlu ain. Karena, amal ibadah akan
menjadi sia-sia bila didasari iman syirik. Serta merupakan dosa terbesar yang
tidak akan mendapatkan ampunan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-An’aam : 88 :
وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ : Dan
jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang
telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ :
48 :
إِنَّ اللهَ
لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.
Seseorang
dapat bertemu (liqa’/ makrifat) kepada Tuhannya,
sekiranya ia tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk serta beramal shalih. Firman Allah Swt,
Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan
siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka berkerjakanlah amal shalih
serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
Sebagai mukmin
yang ingin menyempurnakan iman, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan
hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik),
tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang
menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt
serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Hadlaratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo,
menfatwakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Pada umumnya, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit
hati (terutama syirik). Mereka menganggap syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati
lainnya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Hal ini disebabkan oleh fikiran
dan hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati.
Lain itu pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman
terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai
syirik. Dan memang hanya orang-orang yang hatinya hidup dan mendapat
hidayah-Nya saja, yang dapat memahami dan membedakan antara tauhid dan syirik.
Sadar BILLAH dalam setiap saat, waktu dan kondisi itulah tauhid,
me-Maha Esa-kan dan me-Maha Besar-kan Allah Swt. Dan tidak sadar BILLAH
(LINAFSIH dalam istilah Wahidiyah), tergantung dan berhenti pada makhluk itulah
kemusyrikan. Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti
dan pokok dalam perjuangan Wahidiyah, perjuangan FAFIRRU ILALLAH WA RASULIHI
SAW.
2.
Arti Wahidiyah.
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,[2]
sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. Ia merupakan
kondisi iman seserorang yang telah terbebas dari kemusyrikan. WAHIDIYAH
merupakan kesadaran mukmin dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata
WAAHID yang memiliki arti “satu/ esa/ tunggal”. Kemudian kata ini dalam asmaul husna (asma Allah Swt yang sangat
baik) dikhususkan hanya kepada-Nya, yang berarti Dzat Yang Maha Esa. Kata
وَاحِد ini jika
ditambah dengan “ya’ nisbah/ يَة ” pada akhir
kalimah, menjadi وَاحِدِيَة / WAHIDIYAH yang memiliki arti : pemahaman yang berkaitan atau
berhubungan dengan ke-Esa-an Allah Swt. Dengan pengertian semacam ini, para
ulama sufi sering
mengartikannya dengan MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt.
Jadi,
WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari Syirik.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt, bukan sekedar dapat mengapal asma dan
sifat-sifat-nya. Akan tetapi, ia lebih murapakan perbuatan hati/ tindakan
jiwa/ prilaku batin yang telah dapat memahami keberadaan dan kekuasaan-Nya
dalam semesta alam. Dapat memandang kebesaran Allah Swt, dalam segala makhluk.
Dengan demikian, dalam membebaskan hati
dari musyrik, tidak dapat dengan cara meniadakan makhluk dalam alam fikiran.
Karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Maka,
seseorang dikatakan : tidak menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (bertauhid/ berwahidiyah),
ketika berhubungan dengan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), selama
memahami bahwa keberadaan makhluk dengan segala yang melekatinya semata-semata
sebagai pancaran dari Allah Swt.
Meng-ESA-kan
Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari
alam fikiran atau dari hati. Dalam meng-ESA-kan-Nya secara sempurna tidak bisa tanpa melalui makhluk dengan memahami kebesaran Allah Swt.
Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa
terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita,
lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita
meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk. Dengan demikian, agar dapat
meng-ESA-kan Allah Swt (tidak usyrik), sarananya adalah :
1.
Melalui makhluk (termasuk diri sendiri).
2.
Mengetrapkan
ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH secara dzauqiyah.
3.
Memahami dan
menyadari bahwa makhluk tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri
sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata.
Makhluk hanya sebagai pancaran dan sarana Allah Swt dalam mengatur makhluk
lainnya. Demikian pula Rasulullah
Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra, juga hanya sebagai pintu atau sarana-Nya.[3]
Makna wahidiyah dalam pandangan para waliyullah
dan al-Ghauts Ra :
1.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani Ra
dalam menerangkan : [4]
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ
وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ
تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ
وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ.
فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًاعَارِفا
بِاللهِ
وَللهِ.
Al-Wahid,
dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad
tidak menunjukkan jumlah bilangan, karena ia merupakan
ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid tampak dalam jumlah
bilangan, bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Dan ketika
keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud alam ini sebagai
hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah, yang
mana ia merupakan
ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh
Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid, serta Allah
menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
2.
Dan al-Ghauts
fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas,
mengatakan : [5]
فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ
فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ.
والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid,
adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah
ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya
makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah
(ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan
bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah.
3.
Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Dliyauddin Kamasykhanawi Ra mengatakan: [6]
عَبْدُ
الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ
عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا
يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ
وَحِيْدُ الوَقتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى
بِالأَحَدِيَةِ
Abdul
Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah
Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh
asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia
temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang
wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang
sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan
yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
4.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna
iman Wahidiyah : [7]
والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا
الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ
الوَاحِدِيَّةِ
Dan orang
yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin
makhluk ini dengan dzauqiyah (rasa
hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
5.
Al-Ghauts fi Zamanihi
Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah
membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ
الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung
Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah
Wahidiyah.
Dikatakan
syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil
makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari
makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ
شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ
وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka
mengambil penolong-penolong
selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga),
padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan
Allah semua syafa’at [8] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian
kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
B.
Pengetrapan
Ajaran Wahidiyah
1.
Pengamalan
Wahidiyah
Ajaran
Wahidiyah merupakan bimbingan praktis yang disusun oleh Hadratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, untuk
memudahkan pelaksanaan prinsip-prinsip iman, Islam dan ihsan.[9]
Perlukah saat
sekarang adanya bimbingan (system baru) lagi dalam meningkatkan keimanan kepada
Allah Swt wa Rasulihi Saw, padahal telah ada beberapa bimbingan sebelumnya ?.
Jawabnya : SANGAT
PERLU.
Dikatakan sangat perlu, karena telah terlupakannya iman WAHIDIYAH
dari ingatan dan pemikiran para tokoh agama dan golongan, kususnya tokoh dan
golongan Islam). Dan, banyak juga kalangan yang salah anggapan atau salah
asumsi tentang WAHIDIYAH dan Ahadiyah. Diantara mereka ada yang berasumsi bahwa
ajaran Wahidiyah merupakan ajaran yang sesat (keluar dari Islam). Diantara
mereka ada yang menganggap bahwa WAHIDIYAH merupakan ajaran Islam kelas tinggi
yang hanya dikhususkan untuk para ulama dan waliyullah saja.
Dengan kondisi semacam ummat dan masarakat yang semacam inilah yang
menyebabkan Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif
Shalawat Wahidiyah bangkit untuk memperjuangkan iman WAHIDIYAH dengan cara yang
mudah dan simpel untuk dipahami dan diamalkan.
Dengan
demikian, AJARAN WAHIDIYAH jangan dipahami sebagai tandingan terhadap
macam-macam bimbingan (system/ cara/ metode/ tarekat/ sunnah) yang sudah ada,
apalagi tandingan terhadap sunnah rasul. Bimbingan praktis tersebut dimaksudkan
agar sunnah rasul baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun ubudiyah
lahiriyah dan muamalat dapat terlaksana secara baik dan secara semestinya.
Rasulullah Saw dalam hadis menganjurkannya. Rasulullah Saw bersabda
: [10]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئٌ مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ
سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang
baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah
tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja
yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa
dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Anjuran
Rasulullah Saw (membuat sunnah/ kurikulum) ditujukan kepada ulama yang diberi
kemampuan oleh Allah Swt, agar dapat menyusun sebuah system (metode/ system/ tarekat/
sunnah) yang baik dan benar, untuk disesuaikan dengan kondisi zaman hingga
mudah membawa ummat masarakat kedalam kehidupan yang diwarnai dengan iman,
Islam dan ihsan, kususnya terbebasnya hati dari paham kemusyrikan.
Dan anjuran Rasulullah Saw itulah yang dilaksanakan oleh Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah,
dengan menyusun Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya. Beliau Muallif Qs wa Ra mensistematikkan
penjelasan iman WAHIDIYAH dalam bentuk yang lebih ringkas, lebih sederhana
namun sesuai dengan aslinya.
Dengan
demikian, agar dapat terbebas dari syirik dengan cara mudah, mengamalkan Wahidiyah hukumya
wajib. Hukum wajib disini, bagi siapapun orangnya dari pria wanita, tua
muda, bangsa dan golongan manapun tanpa padang bulu. Sedangkan asal hukum
mengamalkan shalawat Wahidiyah, adalah sunnah.
Dan
alhamdullillah - sebagai tahaddus binni’mah - atas bimbingan dan pancaran
radiasi batin Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, pangamal Wahidiyah
dapat merasa lebih mudah ingat kepada Allah wa Rasulihi Saw, rasa cinta kepada
Rasulullah Saw dari tahap demi tahap terasa semakin meningkat, semakin terasa
ringan dalam mengamalkan dan meningkatkan ibadah, semakin tenang dan tentram
hatinya, semakin mudah mengoreksi dosa-dosanya, dosa kepada Allah Swt, dosa
kepada Rasulullah Saw, dosa kepada diri sendiri, dosa kepada keluarga, kepada
ummat dan masarakat dan bahkan dosa kepada sesama mahluk jamial ‘alamin.
Disamping membirikan bimbingan,
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, juga
memberikan sebuah doa berupa Shalawat Wahidiyah agar ummat masarakat tanpa
pandang bulu, terutama diri sendiri dan keluarga, mendapat hidayah Allah Swt,
syafaat Rasulullah Saw dan barakah karamah serta doa restu para waliyullah,
khususnya Ghauts Hadzaz Zaman Ra, hingga dengan mudah dapat mengetrapkan iman
Wahidiyah, mendapatkan barakah dalam kehidupan keluarga dan rumah tangganya,
serta mendapatkan barakah lingkungan dan masarakatnya.
Demikian pula Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah,
bersifat melanjutkan perjuangan Mbah Yai Qs wa Ra serta para al-Ghauts Ra
terdahulu, serta lebih teratur dalam system pelaksanaan iman, Islam dan ihsan
secara berjamaah.
Ajaran WAHIDIYAH juga menjelaskan adanya Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
Hanya satu orang dalam setiap waktu yang menduduki jabatan al-Ghauts. Ketika
Beliau Ra wafat Allah Swt akan mengangkat penggantinya untuk menduduki jabatan
ruhani tersebut. Beliau Ra sebagai pembimbing ruhahi bagi setiap manusia dalam
menuju sadar kembali kepada Allah Swt dan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana
prinsip yang lazim dalam lingkungan para kaum sufi, bahwa agar seseorang tidak
dibelokkan oleh iblis dalam menyempurnakan iman dan makrifat kepada Allah wa
Rasulihi Saw, diperlukan adanya seorang pembimbing dan Guru Ruhani.
2.
Keberadaan Guru
Ruhani
Daya
dan upaya semua makhluk semata-mata dari Allah Swt. Pancaran daya dan upaya
yang diterima makhluk antara yang satu dengan lainnya tidak sama. Ada yang mendapat pancaran
sedikit dan ada yang banyak. Lain itu pula, sesuai wujud dan tata setrutur alam
semesta, terdapat makhluk yang menjadi pusat atau pimpinan. Daya dan upaya
pusat atau pimpinan makhluk tersebut, juga sebagai sarana Allah Swt untuk
mengatur makhluk lainnya. Dalam prinsip Islam pusat dan pimpinan makhluk tersebut adalah Rasulullah Saw wa
Ghautsuz Zaman Ra.
Dengan demikian, mencari dan memahami guru ruhani yang
kamil mukammil yang mewakili Rasulullah
Saw sebgai pusat dan pimpinan makhluk, merupakan bagian dari pembersihan hati
dari kemusrikan/ ajaran wahidiyah. Lain itu pula, setiap orang yang ingin wushul makrifat kepada Allah, wajib memiliki guru
ruhani yang membimbing dan yang diridlai oleh Allah Swt.
Memahami keberadaan dan kekuasaan Allah Swt sangatlah sukar. Banyak manusia yang salah dan terjebak
kemusrikan. Agar selamat dan lurus dalam memahami Allah Swt, seseorang harus
dibawah asuhan guru ruhani yang ahli dalam bidang tauhid dan keimanan. Dan
pula, tanpa mendapat bimbingan Gurru Ruhani tersebut, sudah
tentu akan dibimbing oleh setan/ iblis/ nafsu. Ketika manusia dibimbing oleh nafsu atau setan manusia
tidak menyadari adanya bimbingan tersebut, bahkan merasa sebagai hidayah Allah
Swt.
Firman
Allah Swt, Qs. al-Furqan : 59 : الرَحْمَنُ
فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا:
Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang
memahami-Nya.
Firman Allah
Swt, Qs : : فَاسْئَلُوا
أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ : bertanyalah
kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ
فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ. وَقَالُوا
: مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ
فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ
Barang
siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya. Dan
para guru kaum sufi berkata : Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka
gurunya adalah setan.
Al-Ghauts fii Zamanihi
Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani mewasiatkan :
المُرِيْدُ ِإذَا
مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid, ketika
Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti
untuk membimbingnya.[12]
Amat penting memiliki guru ruhani.
Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya sangat luas, selama ia belum mencapai
derajat al-Ghauts, wajib baginya mencari guru ruhani. [13]
لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ
وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ
بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ
عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ
عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ
الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ(
عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ
كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ
يَجِدْ فِي بِلاَ دِهِ اَوْ اقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut
bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan
ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi
mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan
yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta
lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan
bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya
atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju
daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[14]
وَمِنْ شَأْنِهِ إِذَا لَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَتَأَدَّبُ بِهِ
مِنَ الشُيُوخِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى مَنْ هُوَ مَنْصُوبٌ
لإِرْشَادِ النَّاسِ فِيْ ذَالِكَ الزَمَانِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ
مَسِيْرَةَ عَامٍ, فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ السَفَرُ جَزْمًا.
Diantara
hal harus diperhatikan bagi murid (orang yang belum makrifat), jika didaerahnya
tidak ada seseorang yang membimbingnya (sebagaimana bimbingan dari Syaih/ Guru
ruhani dalam makrifat), maka wajib baginya hijrah dari daerahnya kepada daerah
yang disita terdapat seseorang yang dapat membimbing manusia pada zaman itu,
Walaupun jarak antara dirinya dan Guru tersebut demikian jauh (memerlukan
perjalanan 100 tahun). Sesungguhnya wajib bagi mereka berangkat menuju daerah
Guru Ruhani tersebut.[15]
Namun,
Allah Swt dan Rasul-Nya memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru
atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru
semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam
kebutaan hati serta bodoh tentang penyakit hati .
Rasulullah Saw bersabda : [16] إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةَ
المُضِلِّون : Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada
ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Allah
Swt berfirman Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا.
Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku,
orang tersebut mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Demikian penting dan dominannya
peranan guru ruhani dalam meningkatkan dan meluruskan iman kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw. Namun, juga sangat menakutkan akibatnya jika berguru orang yanmg
tersesat.
Diantara ciri-ciri Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil :
1.
Hatinya tidak
terpengaruh hiasan dunia. Firman Allah Swt, Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ
زِيْنَةَالحَيَاةِ الدُنْيَا.
Sabarlah (tetap) bersama orang-orang
yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan
Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena
engkau menginginkan keindahan dunia.
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ:
Dan
ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat
kamu kembali.
Ayat ini
menjelaskan, bahwa seseorang yang mengikuti Guru Ruhani yang telah ber-inaabah
(telah sadar kembali kepada Allah Swt), akan mendapatkan manfaat utama, yakni
wushul dan makrifat kepada Allah Swt.
Arti dan makna
ayat diatas diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah Saw :[18]
كُنْ
مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ
يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan
orang yang bersama Allah. Sedsungguhnya orang tersebut akan mengantarmu sampai
kepada Allah, sekiranya kamu bersamaqnya.
3.
Dapat mengantar
murid dekat kepada Rasulullah Saw. Al-Ghauts fii Zamnihhi, Syeh Abdul Wahhab
as-Sya’rani Ra menjelaskan :[19]
ومِنْ
عَلاَمَةِ صِدْقِهِ فِي تِلْكَ الطَّرِيْقِ إِجْتِمَاعُهُ بِالنَّبِى صَلَّى اللهُ
عَلِيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (كَمَاذَكَرْنَاهُ), فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ
جَمْعِيَّةً هُوَ بَطَّالٌ
Dan dari tanda-tanda benarnya seseorang dalam thariqahnya, adalah
pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw (sebagaimana yang telah kami jelaskan).
Maka jika dengan thariqahnya tersebut, ia tidak berhasil bertemu Rasulullah,
maka ia tertolak/ batallah (sebagai guru demikian pula tarekatnya).
4.
Menselaraskan
antara pelaksanaan syariat dan hakikat.
5.
Meningkatnya
iman murid kepada Allah Swt serta cinta kepada Rasulullah Saw.
C.
Kitab Dan Buku
Terdahulu.
Membebaskan
jiwa dari kemusyrikan merupakan tugas utama para nabi dan rasul. Memiliki iman
yang bersih dari musyrik tidaklah mudah. Para ulama Arif Billah mencari, menggali
metode atau system, agar manusia mudah mencapai iaman yang bersih dari
kemusyrikan. Diantara mereka ada yang hanya mengambil metode dengan mencukupkan
dengan memberikan ceramah-ceramah tentang ke-Tuhan-an dan berakhlak kepada-Nya.
Diantara mereka ada yang hanya menyusun doa tarekat yang didalamnya berisi
ajaran ke-Esa-an Tuhan dan permohonan kepada Allah Swt agar diberi hidayah
dapat terbebas dari kemusyrikan. Dan diantara mereka ada yang hanya menulis
buku untuk membahas tentang ke-ESA-an Allah Swt. Dan diantara mereka ada yang sekaligus
menggabungkan dua metode atau tiga metode diatas.
Sedangkan Hadltatul Mukarram Mbah KH. Abdul
Majid Ma’rih Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah mengambil metode menyusun doa,
memberi ceramah dan membimbing ummat dan masarakat agar sadar kembali makrifat
dan mengabdikan diri kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Sedangkan Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra sifatnya melanjutkan perjuangan
para Tokoh sufi dan al-Ghauts Ra sebelumnya, serta lebih bersifat memperjelas
maksud dan prakteknya. Demikian pula Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadzdzarah, juga bersifat melanjutkan dan menata system pelaksanaannya
secara berjamaah.
WAHIDIYAH
(me-MAHA ESA-han Allah Swt) bukanlah suatu istilah yang baru dalam Islam. Sudah
banyak para ulama shalih terdahulu (sebelum terciptanya Shalawat Wahidiyah)
yang telah menjelaskan tentang iman Wahidiyah dan Ahadiyah dalam berbagai kitab
dan buku yang ditulisnya. Antara lain :
4.
Kitab al-Madlnuun
Bih ‘ala Ghairi Ahlih, karangan Imam al-Gazali Ra (al-Ghauts fii Zamanihi).[23]
5.
Kitab Jami’
al-Ushuul fil Auliya’, karangan al-Mujaddid al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Ahmad Kamasykhanawi Ra.[24]
6.
Kitab at-Ta’rifat,
karangan Syeh Ali al-Jurjani.[25]
7.
Kitab Thabaqatul
Kubra, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra.[26]
8.
Kitab
Siyrus-Salikiin, karangan Syeh Abdus Shamad al-Falinbani Ra.[27]
9.
Kitab al-Insaan
al-Kamil fii Ma’rifah al-Awakhir wal Awaail, karangan al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra.[28]
10.
Kitab Asaraar
al-Insaan fii Ma’rifah ar-Ruuh wa ar-Rahmaan, karangan Syeh Nuruddin
ar-Raniri.[29]
11.
Kitab Afdlalus
Shalawat ‘alaa Sayyid as-Saadaat, tulisan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf
Ismail an-Nabhani Ra.[30]
12.
Kitab Durrat
al-Asraar wa Tuhfat al-Abrraar, tulisan Syyeh Muhammad bin Abi Qasim
al-Humairi. [31]
13.
Dan masih
banyak kitab dan buku yang lainnya.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Wahidiyah, bukan sebuah aliran/ golongan/ komunitas yang
keluar dari kaidah syariah Islamiyah. Apalagi paham baru
yang diada-adakan oleh Yayasan Perjuangan
Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo.
2. Untuk
membedakan dengan penafsiran syirik yang tidak tuntas dan yang dilakukan oleh
ulama non sufi serta dapat dipertanggung jawab kepada aqidah Islamiyah, maka
ulama sufi memberikan nama kepada iman yang bersih dari kemusyrikan dengan nama
iman Wahidiyah dan Ahadiyah.
3. Wahidiyah, merupakan tingkatan keimanan mukmin
dalam memahami ke-ESA-an Allah Swt. Yang mengamalkannya hukumnya fardlu ain.
4. Wahidiyah, merupakan iman
yang diperjuangkan oleh para Gahuts Ra sebelum adanya redaksi Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah.
5. Sebagai
lawan kata dari makna syirik.
6. Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, sifatnya memberi alat dan cara yang mudah,
praktis dan simpel dalam membersihkan hati dari kemusyrikan yang tidak disadari
(khafi/ sukar dideteksi).
Sedangkan
Shalawat Wahidiyah merupakan sebuah alat atau doa untuk memohon taufiq dan
hidayah kepada Allah Swt, dan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, serta barakah
karamah nadhrah dan doa restu Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar seseorang yang
mengamalkannya diberi oleh Allah Swt kesempurnaan iman tentang ke-Esaan-Nya
secara musyahadah.
Dan alhamdullah
- sebagai tahaddus binnikmah - sepulang Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid
Ma’ruf Qs wa Ra, Allah Swt semakin menampakkan kemampuan Beliau Hadratul
Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo dalam membawa dan membimbing pengamal Wahidiyah untuk
meningkat dalam segala bidang, baik lahiriyah maupun batiniyah, syariat dan
hakikat, intelektual dan sepiritual. Demikian pula, berkat bimbingan Beliau Ra
banyak pengamal Wahidiyah yang dapat bertemu kepada Rasulullah Saw baik secara
mimpi atau jaga. [32]
Semua terjadi atas izin Allah Swt, syafaat Rasulullah Swt belaka.
Al-Fatihah x 1
Yaa Syaafial Khalqis Shalaatu was Salaam ....... x 1
Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah x 3
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah ............... x 1
Al-Fatihah
[1]. HR. Thabrani dari Abi
Umaamah.
[2]. Dalam Islam terdapat
(dibolehkannya lahir) beberapa aliran yang positif. Misalnya, dalam ilmu fiqh,
terdapat aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali, as-Tsauri atau ad-Dzahiri, dan dalam lingkungan ilmu bahasa arab
terdapat aliran Bashrah dan aliran Kufah, dan dalam system pembacaan al-Qur’an
terdapat 7 aliran (Ashim, Kisai, Hamzah,
Hafash), 10 atau 15 aliran yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, asyarah atau
khamsyah ‘asyar. Demikian pula dalam ilmu tasawuf terdapat aliran Kufi,
Bashri, Mishri, Hijazi. Semua aliran positif diatas tidak
bertentangan, bahkan mendukung pemahaman dan pendalaman pokok-pokok dasar
ajaran Islam.
وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ : Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan
mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul
Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah
Imam Syadzili”.
Keterangan
yang sama juga berikan a al-Ghauts fii Zamanihi Imam Kamasykhanawi Ra dalam
kitabnya Jami’ al-Ushuul pada bab syafaat : الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ
دُوْنَ اللهِ: Syirik dengan
Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa
Allah.
[5]. Kitab al-Madlnun
Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra dalam pasal IV pada bab
perbedaan makna Wahid dan Ahad
[8] HR. Thabrani
(Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw
bersabda : المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’
as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti
syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad
Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy
berkata :
وَأَصْلُهَا
الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ
الشَفْعِ
لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan
asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya,
orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik
syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping
hidup.
Dan
dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw,
yang menukil dari fatwa Imam Ghazali :
أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ
الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ
جَوُهرٍ
Sesungguhnya,
syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian
dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan
yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh
Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
[9]. Seorang mukmin, yang muslim dan yang muhsin adalah orang
yang taat beribadah kepada Allah Swt serta tidak (syirik) menyekutukan-Nya
dengan mahluk.
[10]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
Berkaitan dengan kata SUNNAH dalam
hadis diatas, dalam kitab Tanwiirul Hawaalik alla Syarhi Muwattha’ Malik
tulisan Syeh Jalaluddin Suytuthi, diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (termasuk
pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan : Syeh Sufyan Tsauri
adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Dan Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam
hadis. Sedangkan Imam malik Ibn Anas adalah imam hadis dan sunnah. Dan Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : seorang ulama itu
kadang alim dalam hadis, tapi tidak alim dalam sunnah.
Selain hal tersebut Imam Suyuthi
dalam keterangan selanjutnya menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri
madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw.
[11]. Kitab Jami’
al-Ushul fil Auliya’-nya Syeh
Kamsykhanawi, pada bagian ‘”mutammimaat”
dalam “bayaan washiyatul muriidiin”.
[12]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Ra
(w. 973 H), dalam bab “adabul murid”).
[13]. Malikat saja yang tidak pernah berbuat maksiat, masih
diperintahkan agar berguru kepada Nabi Adam As. Lebih lagi manusia yang berlumuran
dosa. Lihat penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (w.
565 H) dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “Maa Yajibu ‘ala
al-Mubtadi”, yang menjelaskan : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid Nabi Adam, dan Nabi Adam sebagai
guru malaikat. Dan Adam mengajarkan
nama-nama segala sesuatu secara keseluruhan.
Penjelasan yang sama juga
diterangkan oleh Syeh Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi,
juz II, dalam Kitab al-Ba’tsi pada bahasan “irsaaluhu ‘alal malaik” bagian
“khatimah” :
أَنَّ آدَمَ أَرْسَلَ إِلَى المَلاَئِكَةِ لِيُنَبِّئئَهُمْ بِمَا عَلِمَ مِنَ
الأَسْمَاءِ : Sesungguhnya Nabi Adam diutus kepada para malaikat agar
mendidik mereka tentang pengetahuan nama-nama segala sesuatu. Imam Suyuthi
juga menerangkan bahwa pemahaman seperti ini sebagai ketentuan Imam Syafi’i Ra.
[14]. Kitab Tanwir al-Qulub Syeh
Amin al-Kurdi, hlm 362.
[15]. Kitab al-Anwaarul
Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamaanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra,
dalam bab I, pada bahasan ke 19.
[16]. Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab
alif.
[17]. Makna “inabaah” adalah
: رُجُوعُ الكُلِّ إِلَى مَنْ لَهُ الكُلُّ : mengembalikan
segalanya kepada pemilik segalanya. Lihat Kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali
al-Jurjani, bab alif.
Rasulullah
Saw bersabda : إِنَّ مِنْ
سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ : Sesungguhnya diantara
kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi inaabah.
(Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif).
[18]. Kitab Khaziinah
al-Asraar Jaliilah al-Adzkaar-nya Syeh Muhmnad Haqqi an-Naazili, dalam bab
“washiyah Suhrawardi. Imam Suhrawardi (penulis kitab Awarif
al-Ma’arif), adalah seorang sufi yang ahli dalam hadis serta memiliki sanadnya yang
bersambung sampai kepada Rasulullah Saw
[20]. Fatwa Syeh
Junaid al-Bagdadi tertulis dalam kitab Risyalah al-Qusyairiyah.
[21]. Dalam kitab ini, Imam
Abu Thalib al-Makkiy (w. 385 H), secara jelas
menyebutkan martabat ahadiyah. Sedangkan martabat wahidiyah, hanya dimengulas
makna wahid tanpa menyebutkan kata wahidiyah. Namun dalam ulasan makna kata
wahid ini sebagaimana ulasan Imam
Ghazali dalam membahas wahidiyah.
[22]. Demikain pula Imam
Qusyairi Ra, dalam membahas wahidiyah dan ahadiyah mengikuti cara Syeh Junaid al-Bagdadi dan Syeh Abu
Thalib al-Makkiy. Dalam kitabnya ini, Syeh lebih menampakkan martabat Ahadiyah.
Sedangkan martabat wahidiyah tidak disebut secara implicit, dan hanya
menjelaskan makna asma Wahid-nya Allah Swt
sebagaimana Imam Ghazali Ra..
[23]. Lihat kumpulan
kitab kecil yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang tersusun dalam Majmu’ah
Rasaail lil Ghazali, terbitan Darul Fikri, Bairut. Dalam kitab al-Madlnuun
Bih ini, ketika memberikan keterangan makna surat Ikhlash, Imam Ghazali
menjelaskan tentang Iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah.
[24]. Dilihat dari isi
yang terkandung dalam kitab ini, menunjukan bahwa Penulis kitab ini sebagai
pengamal tarekat syadzaliyah dan naqsyabandiyah, dan sekaligus
sebagai tokoh kaum sufi yang benar-benar telah memahami sistem dan metode yang
terdapat dalam setiap tarekat sufi.
Dalam kitab
ini dibahas tentang difinisi-difinisi dan istilah yang mashur
dalam lingkungan kaum sufi dan ulama ushul fiqh. Beliau Ra membeberkan tentang makna iman Wahidiyah dan Ahadiyah secara
panjang lebar dalam bab “Bayan Madhahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fil Asma’
al-Ilaahiyah”, dan pada bagian “Mutammimaat”
[25]. Penulisnya
adalah ulama sufi yang ahli dalam ilmu bahasa arab. Didalamnya menerangkan
ensiklopedi istilah-istilah yang mashur dalam Islam, diantaranya tentang iman
Wahidiyah.
[26]. Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani adalah ketua ulama Madzhab Syafi’i di Mesir waktu itu (lihat
kitab Mizan al-Kubra yang membahas perbandingan madzhab dalam ilmu fiqh,
tulisan Syeh Sya’rani juga). Didalam
kitab ini diterangkan tentang tingkatan tauhid dan keimanan mukmin, yang
diantaranya maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, dan pula sejarah para pembesar kaum
sufi dan waliyullah pada zaman sebelum kehidupan Syeh Sya’rani Ra serta
nasehat-nasehatnya.
[27]. Kitab ini
berbahasa melayu kuno sebagai syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin
karangan Imam al-Ghazali Ra. Ketika membahas tentang nafsu muthmainnah, dibahas
juga tentang iman Wahidiyah.
[28]. Kitab ini terdiri dari 2
juz. Dan ilmu Wahidiyah, dibahas secara panjang lebar pada juz I dalam pasal 6,
serta dalam bab muqaddimah.
[29]. Syeh Nuruddin ar-Raniri
berasal dari daerah Ranir India. Kemudian menjadi mufti di kesultanan Aceh
Darus Salaam. Kitab ini ditulis dengan bahasa melayu kuno.
[30]. Dalam kitab ini,
Syeh Nabhani Ra banyak menukil redaksi
shalawat nabi yang ditaklif oleh para
waliyullah dan al-Ghauts Ra yang hidup pada masa sebelum tahun 1933 M sampai
guru Imam Abul Hasan as-Syadzali Ra (Syeh Izzuddin Abdis Salam al-Masyiysi Ra,
w 658 H), yang telah mengulas secara
singkat tentang derajat iman wahidiyah dan ahadiyah.
[31]. Dalam
kitab ini membahas metode dzikir dan tarekat yang diajarkan oleh Imam Abuk
Hasan as-Syadzili Ra. Dan dalam bab I diterangkan bahwa guru Imam Syadzili Ra (
Syeh ‘Izzudin bin Abdis Salam al-Masyisy Ra) adalah al-Ghaus fii Zamanihi.
Kepada Imam Syadzili, Syeh Masyisiy berpesan agar ia tinggal dan menetap di
Maroko, karena didaerah ini kamu akan memperoleh ilmu yang sempurna tentang
dunia dan akhirat. Kemudian segera pindah ke Mesir, karena nanti disana
kamu akan diangkat oleh Allah Swt
sebagai al-Ghauts.
[32]. Tentang pengalaman
ruhani yang diperoleh pengamal Wahiidiyah, dapat dilihat dalam buku “Shalawat
Wahidiyah Dan Pengalaman Ruhani” terbitan
Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo.